Rabu, 03 Desember 2008

Menonaktifkan/Mematikan Autorun pada Windows

Jalur masuk virus dari flash disk ke komputer yang pertama adalah aktifnya autorun. Umumnya, virus mengubah isi autorun.inf sehingga bila autorun aktif, file tersebut akan mengaktifkan virus.

Alhasil, tatkala flash disk terdeteksi oleh komputer maka saat itulah autorun.inf milik si flash disk, yang sudah terinfeksi virus, akan mengaktifkan virus di flash disk dan menularkannya ke komputer kamu. Jadi, pertahanan pertama untuk serangan pertama adalah menonaktifkan autorun.

Ada banyak cara mematikan autorun. Cara mematikan autorun untuk sementara adalah tahan tombol Shift ketika memasukkan flash disk. Insya Allah autorun akan mati sementara dan akan hidup lagi ketika kamu melepas tombol Shift. Okey, selanjutnya kita akan membahas langkah-langkah, tutorial, tips bagaimana mematikan autorun:

Tutorial Bagaimana Mematikan/menonaktifkan autoran (metode I):

1. Klik tombol Start >> Run
mematikan-autorun-windwos1

2. Ketik “regedit” (tanpa petik). Maka akan terbuka registry editor window.

3. Masuk ke HKEY_CURRENT _USER\Software\Microsoft\ Windows\CurrentVersion\Policies\Explorer
mematikan-autorun-windwos2

4. Pada kolom sebelah kanan, klik kanan NoDriveTypeAutoRun. Lalu klik “Modify“.
mematikan-autorun-windwos3

5. Ganti isi kolom value data menjadi “ff” (tanpa petik) untuk menonaktifkan autorun pada drive. Klik Ok.
mematikan-autorun-windwos4

6. Kemudian, masuk ke HKEY_USERS\.DEFAULT\Software\Microsoft\ Windows\CurrentVersion\Policies\Explorer. Lalu lakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
mematikan-autorun-windwos5

7. Tutup registry editor window, lalu restart komputer.

===============================================

Tutorial Bagaimana Mematikan/menonaktifkan autoran (metode II):

1. Buka registry editor window (sama dengan di atas)

2. Masuk ke HKEY_LOCAL_MACHINE_\SYSTEM\CurrentControlSet\Services\CDRom
mematikan-autorun-windwos6

3. Lihat kolom sebelah kanan, klik ganda pada AutoRun maka akan muncul jendela Edit DWORD Value.
mematikan-autorun-windwos7

4. Pada jendela Edit DWORD Value, ganti value data menjadi 0 untuk menonaktifkan/mematikan autorun.

5. Restart komputer.

Okeh, sekian tutorial langkah-langkah bagaimana menonaktifkan/mematikan autorun.
Semoga bermanfaat.

Selasa, 18 November 2008

Nyata dan Tidak Aneh


Nyata dan Tidak Aneh

Kalau Anda menggenggam sebutir telor, dan beberapa puluh detik kemudian telor itu menjadi matang...
Kalau Anda mengikat roda kereta api, dan tali pengikat itu Anda gigit kemudian roda itupun terangkat dan Anda ayun-ayunkan. ..
Kalau ayam Anda dicuri oleh maling, dan Anda nge-sot : "Kalau dalam waktu sehari semalam ayam tak dikembalikan, si maling akan lumpuh!" -- sehingga ia lumpuh benar-benar. ..
Kalau Anda mengisikan jarum, pisau atau keranjang ke dalam perut seseorang yang Anda benci atau cemburu...
Kalau Anda letakkan telapak tangan dua sentimeter di atas meja dan Anda angkat meja itu tanpa menyentuhnya. ..
Kalau anda memangkas nyala api dan membelah air...
Kalau Anda memimpin rapat penting semalam suntuk, dan pada saat yang sama Anda beredar bersama kelompok siskamling.. .
Kalau Anda mengucapkan Assalamu'alaikum kepada seekor anjing dan anjing itu menjawab dengan gerak tubuhnya, atau Anda ,menatap mata harimau sehingga ia berlari tunggang langgang...
Kalau anda tahu persis siapa tamu yang sejam lagi datang ke rumah Anda dan mengerti maksud buruk atau baik yang dibawanya...
Kalau Anda mengobrol dengan Ibunda yang bertempat tinggal 300 km dari rumah domisili Anda...
Kalau Anda menggerakkan pasukan lebah untuk menyerbu musuh yang hendak memasuki wilayah Anda...
Kalau Anda mengembara semalaman dengan Khidir penggembala utama para wali Allah yang selalu hidup tersembunyi. ..
Itu tidak aneh. Itu nyata dan tidak aneh.
Itu wajar dan rasional. Itu lumrah dan ilmiah, meskipun ilmu yang kita ketahui belum tentu mampu menerangkannya, meskipun pengetahuan yang kita kuasai belum tentu sanggup membeberkannya.
Manusia itu lebih tinggi kemampuannya dibanding alam. Manusia memiliki rahasia kemampuanyang mengatasi alam. Apabila hijab rahasia itu terbuka, maka manusia bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga sekaligus berarti ia menapak ke maqam lebih tinggi yang semestinya memang ia tempuh.
Manusia bahkan adalah mahluk Allah yang lebih tinggi derajat kemakhlukannya dibanding para malaikat yang kita kenali sebahai gaib.
Tetapi, kalau kemampuan dan rahasia, difestivalkan, dilombakan: itulah yang aneh. Apa haknya untuk memamerkan barang yang bukan miliknya? di mana muka manusia ditaruh dihadapan Tuhannya ketika ia memamerkan dan mantakaurkan anuugrahNya?
Hanya siswa-siswi Taman Kanak-kanak yang masih pantas untuk pamer gaya dan suara.
Sesudah bernyanyi, semua teman-teman bertepuk tangan. Tetapi ketika berangkat dewasa, anak-anak itu belajar tahu bahwa suara itu bukan miliknya. Tak seorang manusia pun bisa menentukan atau memilih warna suaranya, bentuk tubuhnya, cakep-tidak wajahnya, dimana ia lahir, menjadi anak siapa atau putra daerah mana.
Allah yagn menentukan dan memilihkan.
Tetapi kita memang tanpa malu-malu, di dunia ini, menjual milik-milik Allah itu untuk kepentingan pribadi, dengan anggapan seolah-olah diri kita ini seluruhnya adalah hak milik kita.
(EAN)

Kamis, 13 November 2008

9 Ways to Love Your Job



Rabu, 12 November 2008 | 09:58 WIB

Cinta pada pacar bisa membuat Anda mabuk kepayang. Cinta pada pekerjaan? Anda akan makin produktif dan kreatif.

LIHAT SISI POSITIF

OK, saat ini Anda meniti karier di bidang yang tak pernah diinginkan sebelumnya. Ditambah lagi, perjalanan dari rumah ke kantor seringkali bikin mangkel karena jauhnya minta ampun.Tapi, menurut Paul Powers penulis buku Love Your Job: Loving the Job You Have... Finding a Job You Love, selalu ada sisi positif dari segala hal. Di balik berbagai hal yang membuat sebal itu, pasti ada satu hal yang Anda senangi dari profesi saat ini. Entah gajinya yang memuaskan, atau kesempatan Anda bertemu orang baru sangat besar. Pastikan Anda selalu mengingat hal yang menyenangkan itu di dalam benak.

FOKUS PADA TUGAS YANG DISUKAI

Susun daftar berisi langkah apa saja yang Anda lakukan dalam bekerja. Baris teratas adalah hal-hal yang paling Anda sukai dan yang terbawah adalah tahapan kerja yang paling Anda hindari. Diskusikan dengan atasan apakah Anda diperbolehkan untuk lebih sering melakukan hal-hal yang Anda suka. Misal, bila Anda adalah seorang staf komunikasi, tanyakan apakah Anda boleh melakukan tugas lapangan lebih sering ketimbang melakukan riset di dalam ruangan.

DELEGASIKAN TUGAS

Jika memiliki staf untuk membantu pekerjaan, Anda bisa mendelegasikan tugas-tugas yang tidak terlalu menarik kepada mereka, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang lebih Anda sukai. Tapi, lakukan itu hanya jika memang minat Anda berlawanan dengan mereka. Terkadang ada orang yang lebih menyukai tugas bersifat administrasi ketimbang yang memerlukan interaksi dengan orang lain. Begitu pula sebaliknya. Tapi ingat, tugas yang menyenang tidak sama dengan tugas yang ringan. Jangan sampai Anda dicap mau enak sendiri karena hobi melemparkan kerjaan yang berat kepada anak buah.

FROM AND FOR ME

Tidak mungkin Anda bisa terhindar dari tugas yang tidak disukai selamanya. Pasti ada saatnya Anda tidak dapat mendelegasikan pekerjaan tersebut kepada orang lain. Supaya prosesnya lebih menyenangkan, berilah hadiah ada diri sendiri setiap kali Anda sukses melakukan tugas tersebut. Sebungkus cokelat, waktu makan siang yang lebih lama, atau sehelai pakaian dari butik favorit, pasti ampuh untuk memulihkan perasaan Anda setelah tugas selesai.

ATUR WAKTU KERJA

Dalam buku 101 Ways to Love Your Job, Gerard O'Donovan menganjurkan Anda untuk mengatur jadwal kerja menurut prioritas waktu serta berdasarkan besarnya minat Anda terhadapnya. Jika Anda merasa lebih bersemangat di pagi hari, maka kerjakan tugas-tugas yang kurang Anda minati pada saat itu. Dengan demikian, Anda akan lebih cepat menyelesaikannya dan kian lekas pula terbebas dari pekerjaan tersebut. Sebaliknya, ketika semangat mulai meredup, lakukan tugas yang Anda sukai agar gairah kerja membara kembali.

HANGOUT DENGAN REKAN KERJA

Salah satu hal yang mampu membuat seseorang merasa betah dengan pekerjaan yang digelutinya adalah hubungan yang harmonis dengan rekan sekerja. Di luar jam kantor, luangkan waktu untuk nongkrong bareng dan saling mengenal. Tugas seberat apa pun tentunya akan terasa lebih ringan apabila dilakukan bersama teman-teman yang menyenangkan, bukan?

PILAH-PILIH TEMAN

Dekatilah rekan kerja yang selalu memasang tampang happy dan bersikap optimis. Dalam waktu beberapa hari saja, dijamin semangat kerja Anda akan meningkat pesat. Oh ya, jangan terlalu akrab bergaul dengan mereka yang selalu berkeluh kesah dan pesimis dalam menyikapi hidup.

CARI PELUANG

Jika pekerjaan sekarang tidak menarik lagi, mulailah pasang mata dan telinga, siapa tahu ada posisi yang lebih cocok bagi Anda di perusahaan. Jika memang tidak ada, mengapa tidak mencoba mengajukan posisi baru pada atasan. Besar kemungkinan perusahaan akan mengabulkannya asalkan argumentasi Anda kuat dan job description yang ditujukan bagi posisi tersebut memang pas dengan kemampuan Anda.

RAIH KESEMPATAN BELAJAR

Di sela-sela urusan kerja, manfaatkan waktu Anda untuk mengikuti training ataupun konferensi guna meningkatkan ilmu dan kemampuan, memperluas jejaring dan meng-update berita seputar bidang yang Anda geluti. Ada banyak perusahaan yang sudah memiliki jadwal pelatihan rutin bagi karyawan mereka. Menurut Alexander Kjerulf, penulis buku Happy Hour is 9 to 5, jika perusahaan Anda belum memberikan fasilitas tersebut, tak ada salahnya untuk mengajukan diri kepada atasan. Di masa depan,jika Anda berniat untuk pindah, tentunya nilai tawar Anda akan semakin tinggi setelah mengikuti rangkaian kursus tersebut.

CUCI MATA

Manfaatkan waktu luang untuk cuci mata di kantor.Cobalah lirik divisi atau kantor sebelah, siapa tahu ada wajah-wajah bening yang bisa menjadi penyemangat kerja. Ketika Anda stuck dengan pekerjaan, melanconglah ke tempat itu, otak yang tadinya buntu dijamin tokcer kembali.

(CHIC/Nayu Novita)

Jumat, 31 Oktober 2008

PRINSIP-PRINSIP DASAR DESAIN

Setiap unsur-unsur visual harus dikenali secara cermat sehingga dapat berperan optimal saat satu sama lain dipadukan/dirancang. Tidak ada metode perancangan desain yang paling shahih. Setiap perancang dapat mengembangkan metodenya masing-masing sesuai dengan pola kebiasaan, alat yang digunakan, lingkungan tempat kerja, dsb. Sekalipun begitu terdapat beberapa prinsip perancangan yang dapat dijadikan pedoman untuk menghasilkan mutu perancangan yang berhasil guna.

1. Unity (Kesatuan)

Sebuah media komunikasi visual terdiri dari elemen-elemen seperti headline, body text, illustrasi, warna, garis, dll. Semua elemen ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan keseluruhan efek yang menyatu dan terpadu

2. Variety (Keragaman)

Meskipun demikian, dalam sebuah rancangan media komunikasi visual, keragaman atau variasi sangat dibutuhkan untuk menghindari kesan monoton

3. Contrast (Kontras)

Contrast adalah upaya untuk membuat penonjolan sebuah unsur (atau kelompok unsur) melalui berbagai cara: kontras nada, kontras arah, kontras ukuran, kontras bentuk. Putuskan unsur mana yang akan ditonjolkan. Bila anda memberi seluruh unsur penonjolan yang sama, media anda akan berakhir tanpa penonjolan sama sekali

4. Harmony (Keselarasan)

Seluruh unsur tata letak harus saling bekerjasama dan tidak saling bertentangan satu sama lain. Bentuk, huruf, nada dan tekstur harus ditaata secara harmonis sehingga secara keseluruhan enak dipandang

5. Proportion (Kesepadanan/Sebanding)

Semua unsur harus sepadan. Tinggi dan lebar huruf, point huruf dengan lebar naskah, gambar dengan naskah

6. Rhythm (Irama)

Media cetak adalah media statis, namun mata pembaca sesungguhnya dapat dibimbing dan diarahkan sehingga mencapai seluruh bagian rancangan.

Setiap unsur disusun agar dapat membantu mata bergerak dalam suatu gerakan yang terstruktur. Tempatkan unsur-unsur secara terencana sehingga mata mulai bergerak dari tempat yang anda inginkan hingga ke seluruh bagian.

Gerakan mata sebaiknya diarahkan agar mengalir dengan irama yang nyaman.

Pola Z dan S adalah susunan yang umum dipergunakan

7. Balance (Keseimbangan)

Dengan keseimbangan kita mengendalikan ukuran nada, berat dan posisi unsur-unsur dalam sebuah rancangan. Unsur-unsur yang tertata seimbang terlihat aman dan nyaman oleh mata, Cara menguji keseimbangan dengan cara menguji hubungan bagian kiri dan kanan. Pada dasarnya, terdapat dua bentuk keseimbangan yaitu formal dan informal.

Keseimbangan formal.

Rancangan yang seimbang formal mempunyai unsur-unsur berat, ukuran, bentuk yang sama pada sisi kanan dan sisi kiri dalam suatu garis vertikal imajiner yang di gambarkan di pusat rancangan. Rancangan yang simetris memberikan kesan stabilitas dan konservatisme, tetapi pada suatu saat terlihat tidak imajinatif

Keseimbangan informal

Dalam keseimbangan informal obyek ditempatkan secara acak dalam halaman tetapi secara keseluruhan tampak seimbang. Bentuk penyusunan ini memerlukan pemikiran ketimbang keseimbangan formal bisimetris sederhana, tetapi efeknya dapat imajinatif dan dinamis

Empat Pokok Prinsip Tipografi


Ada empat prinsip pokok tipografi yang sangat mempengaruhi keberhasilan

suatu desain tipografi yaitu legibility, clarity, visibility, dan readibility.

Legibility adalah kualitas pada huruf yang membuat huruf tersebut dapat terbaca.

Dalam suatu karya desain, dapat terjadi cropping, overlapping, dan lain sebagainya, yang

dapat menyebabkan berkurangnya legibilitas daripada suatu huruf. Untuk menghindari hal ini, maka seorang desainer harus mengenal dan mengerti karakter daripada bentuk suatu

huruf dengan baik. Selain itu, penggunaan huruf yang mempunyai karakter yang sama

dalam suatu kata dapat juga menyebabkan kata tersebut tidak terbaca dengan tepat, seperti

contoh di bawah ini.


fail Diambil dari Typographic Design: Form and Communication

tail Huruf 'f', 't', 'j', mempunyai karakteristik yang sama sehingga ada

jail kemungkinan terbaca dengan kurang tepat

Diambil dari Typographic Form: Form and Communication


Apabila menggunakan copping, bagian atas daripada huruf lebih dapat terbaca

daripada bagian atasnya.

Readibility adalah penggunaan huruf dengan memperhatikan hubungannya dengan

huruf yang lain sehingga terlihat jelas. Dalam menggabungkan huruf dan huruf baik untuk

membentuk suatu kata, kalimat atau tidak harus memperhatikan hubungan antara huruf

yang satu dengan yang lain. Khususnya spasi antar huruf. Jarak antar huruf tersebut tidak

dapat diukur secara matematika, tetapi harus dilihat dan dirasakan. Ketidak tepatan

menggunakan spasi dapat mengurangi kemudahan membaca suatu keterangan yang

membuat informasi yang disampaikan pada suatu desain komunikasi visual terkesan kurang

jelas. Huruf-huruf yang digunakan mungkin sudah cukup legible, tetapi apabila pembaca

merasa cepat capai dan kurang dapat membaca teks tersebut dengan lancar, maka teks

tersebut dapat dikatakan tidak readible. Pada papan iklan, penggunaan spasi yang kurang

tepat sehingga mengurangi kemudahan pengamat dalam membaca informasi dapat

mengakibatkan pesan yang disampaikan tidak seluruhnya ditangkap oleh pengamat.

Apabila hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa karya desain komunikasi visual

tersebut gagal karena kurang komunikatif. Kerapatan dan kerenggangan teks dalam suatu

desain juga dapat mempengaruhi keseimbangan desain. Teks yang spasinya sangat rapat

akan terasa menguasai bidang void dalam suatu bentuk, sedangkan teks yang berjarak

sangat jauh akan terasa lebih seperti tekstur.

Prinsip yang ketiga adalah Visibility. Yang dimaksud dengan visibility adalah

kemampuan suatu huruf, kata, atau kalimat dalam suatu karya desain komunikasi visual

dapat terbaca dalam jarak baca tertentu. Fonts yang kita gunakan untuk headline dalam

brosur tentunya berbeda dengan yang kita gunakan untuk papan iklan. Papan iklan harus

menggunakan fonts yang cukup besar sehingga dapat terbaca dari jarak yang tertentu.

Setiap karya desain mempunyai suatu target jarak baca, dan huruf-huruf yang digunakan

dalam desain tipografi harus dapat terbaca dalam jarak tersebut sehingga suatu karya desain

dapat berkomunikasi dengan baik.

Prinsip pokok yang terakhir adalah clarity, yaitu kemampuan huruf-huruf yang

digunakan dalam suatu karya desain dapat dibaca dan dimengerti oleh target pengamat

yang dituju. Untuk suatu karya desain dapat berkomunikasi dengan pengamatnya, maka

informasi yang disampaikan harus dapat dimengerti oleh pengamat yang dituju. Beberapa

unsur desain yang dapat mempengaruhi clarity adalah, visual hierarchy, warna, pemilihan

type, dan lain-lain.

Keempat prinsip pokok daripada desain tipografi tersebut di atas mempunyai tujuan

utama untuk memastikan agar informasi yang ingin disampaikan oleh suatu karya desain

komunikasi visual dapat tersampaikan dengan tepat. Penyampaian informasi tidak hanya

merupakan satu-satunya peran dan digunakannya desain tipografi dalam desain komunikasi

visual. Sebagai sesuatu elemen desain, desain tipografi dapat juga membawa emosi atau

berekspressi, menunjukan pergerakan elemen dalam suatu desain, dan memperkuat arah

daripada suatu karya desain seperti juga desain-desain elemen yang lain. Maka dari itu,

banyak kita temui desain komunikasi visual yang hanya menggunakan tipografi sebagai

elemen utamanya, tanpa objek gambar.


Selasa, 09 September 2008

Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan


Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan

Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih 'revolusioner' radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti disebutkan al-Qur'an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan Ramadhan.

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau meng-engkau- kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.

Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.

Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap 'tidak' kepada isi pokok dunia yang berposisi 'ya' dalam substansi manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri- konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.

Sementara ibadah haji adalah puncak 'pesta pora' dan demonstrasi dari suatu sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai sekadar seolah-olah megah.

Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan siklikal, perjalanan yang 'menuju' dan 'kembali'nya searah.

Ihram adalah 'pelecehan' habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan, kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir kembali ke kemegahan-kemegahan dunia--tak lagi untuk disembahnya atau dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.
(Emha Ainun Nadjib/Paramadina/ 1996)

KISAH SEDIH DARI BALI


KISAH SEDIH DARI BALI

Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengerajin perak dari Gianyar, Bali. Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.

"Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa motif asli Bali seperti `patra punggal', `batun poh', dan beberapa motif lainnya juga dipatenkan" kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.

Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.

Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. "Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan satu desain pun," ujarnya hari ini.

Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan budaya di tanah air. Cerita ini menambah daftar budaya indonesia yang dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lag Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya.

LANGKAH KE DEPAN

Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di http://budaya-indonesia.org/ . Untuk dapat mencegah agar kejadian di atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu. Setidaknya ada 2 hal perlu kita secara sinergis, yaitu:

1. Mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik bantuan ide, tenaga maupun donasi) di bagian ini, harap menggubungi IACI di email: office@budaya-indonesia. org

2. Mendukung proses pendataan kekayaan budaya Indonesia. Perlindungan hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secara optimal. Jadi, jika temen-temen memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang budaya Indonesia, mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA INDONESIA, dengan alamat http://budaya-indonesia.org/ Jika Anda memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di email: office@budaya-indonesia.org

- Lucky Setiawan

nb: Mohon bantuanya untuk menyebarkan pesan ini ke email ke teman,
mailing-list, situs, atau blog, yang Anda miliki. Mari kita dukung upaya pelestarian budaya Indonesia secara online.

Senin, 08 September 2008

Allah dan Slang-Slang AC


Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh- an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****

Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Allah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Allah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu.. ."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Malam ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab Al-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawanny a juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Kalau memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(EAN/2000/ PmBNetDok)

Membeli Fitnah


BENARKAH ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian besar, sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang -- yang bahkan tak dikenalnya -- terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta- butanya. Atau, bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan. Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.

Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah Anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakikat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecil?

Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?

Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.

Ada anak-anak muda 'minta izin' -- anehnya -- kepada saya. "Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan bakar...!"

Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan, yang sesungguhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya penuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan pertemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.

Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shobri was- sholah -- sampai ada konteks dan sa'ah sejarah di mana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.

***
JIWA kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan-letusan kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'aga- ma' adalah kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menurut Allah.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah-fitnah besar dalam hidup saya, Insya Allah saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikit pun, melainkan kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah-fitnah itu. Saya bersedia membayar orang- orang yang memfitnah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.

Maka kalau saya merasa cemas, Insya Allah kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.

Pernahkah Anda bertanya kepada diri sendiri seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita.

Seberapa besar pulalah kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang- orang justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokrasi, moral, keberbudayaan dan keberadaan. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketenteraman? ***
(Emha Ainun Najib/2007/PmBNetDo k)

Kesaksian Sederhana Orang Biasa


Kesaksianku tentang dunia hanya bisa sederhana
Karena jenis dan standar kebahagiaanku memang sangat biasa-biasa saja

Kaki hidupku tidak meloncat menggapai langit
Tak ada yang kukejar hingga lari terbirit-birit

Tanganku tidak mengacungkan tinju ke angkasa
Sebab tak ada satu unsur apapun dalam kehidupan ini
yang membuatku kagum dan terpana

Kekuatanku tak akan menyentuh siapa-siapa
Karena aku tidak tertarik pada kemenangan atas manusia

Kubelanjakan tenagaku hanya sedikit saja
Sebab atas segala yang lemah hatiku tak berdaya

Kalaupun pikiranku mengembara sampai ke ruang hampa
Hatiku sudah lama selesai dan tak meminta apa-apa

Tak ada sekilaspun padaku mimpi menaklukkan dunia
Sebab dunia sangat murah harganya dan hanya beberapa
tetes keringat dari badanku yang kurelakan untuknya

Tak ada sedikitpun minatku terhadap kehebatan diri
karena jenis kelemahanku adalah kebiasaan
untuk mentertawakan diriku sendiri

Jika ada orang beramai-ramai tersesat menjunjungku
Volume kepalaku tidak membesar dan hatiku tetap bisa mengantuk

Jika mereka menemukan kebenaran sehingga menghinaku
Helai-helai buluku tidak berdiri bahkan kantukku bertambah lelap

Kebesaran dan kegagahan amat sangat aku remehkan
Dan tak akan pernah kukenakan sebagai pakaian

Apabila dunia menyangka aku mencintainya dan ingin mengawininya
Tentu karena ia tak tahu aku sudah mentalaknya sebelum pernah mencintainya

Barang siapa kegagahannya mendatangiku dan menggertak
Kusihir ia jadi katak
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok/ 2004)

Sudah Bukan Diriku


Kalau aku sudah bukan diriku
Akankah lahir anakku yang berasal dari dirinya
Kalau manusia sudah tak sepenuhnya manusia
Adakah cara agar penerusnya kembali manusia

Kalau aku sudah hilang
Karena diriku digantikan
Oleh diri seragam produksi massal
Yang mana dari nilai-nilai yang masih mungkin tertinggal

Bangsaku sudah bukan bangsaku
Bangsaku bukan bangsa yang tumbuh
dari dalam diri kebangsaannya
Bangsaku hanya bahan dasar alam
Sebagaimana batubara yang ditambang
Dicetak oleh industri globalisasi
Dijadikan plastik dan robot barang dagangan
Pemerintahku adalah anjing herder
Pikirannya dikendalikan oleh stick holder

Merahkah ini hijaukah itu
Baikkah ini burukkah itu
Ditentukan tidak berdasar nurani dan akalmu
Karena sudah ada paket makro untuk itu

Mana maju mana mundur
Apa yang mulia apa yang hina
Siapa Nabi siapa teroris
Bukan hak kemanusiaanmu untuk menentukan

Bumi mengecil seukuran bola golf
Diambil dipukul diambil dibuang atau dikeranjang- sampahkan
Bangsaku terdaftar sebagai pelacur unggul tergolek di ranjang
Disetubuhi kapan saja Mr. Global Stick Holder menghendaki

Sekujur badan disemprot parfum demokrasi
Dihibur dengan lagu dusta tentang hak asasi
Mata dipejamkan ditiup dengan hawa toleransi
Mulut dingangakan, siap dituangi sperma globalisasi
Tetapi bangsaku tak kehilangan dirinya
Karena generasi yang ini sejak lahir memang sudah bukan dirinya

Hujan turun terlalu deras
Hujan ludah dan air liur para raksasa
Manusia dan negara dipersatukan oleh banjir
Dunia menyempit, menjadi sebuah bendungan

Bendungan itu
Bernama globalisasi
Hujan turun terlalu deras
Banjir global masuk sampai ke kamar pribadi
Menelusup sampai ke ulu hati
Bahkan otak sampai terbungkus oleh kerak tahi besi

Di manakah, dalam banjir itu, manusiamu?

Tak ada kegelisahan apapun atas hilangnya diri
Tak ada ketakjuban atas punahnya nilai

Apakah wajah yang kau temukan di kaca itu
benar wajah manusia

Sebab pada semuanya yang lebih menonjol
adalah tanda-tanda kehewanan
Yang lebih rajin muncul
adalah indikator kebinatangan
politik keserakahan
mobilisasi pelampiasan
ekonomi keborosan
globalisasi pemusnahan kemanusiaan
peruntuhan nilai-nilai batin
seluruh permukaan bumi sedang dirancang
menjadi hamparan lapangan golf
di mana para juragan global dengan stik-stik mewah
membidik dan melempar bola-bola golf
yang terbuat dari kepala-kepala manusia

Dan kalau engkau bertanya tentang aku
dengarlah pertanyaanmu itu kujawab
dengan penuh kebanggaan:
Aku adalah setan!
Aku adalah setan, yang riwayatku
ditulis oleh Tuhan sendiri di kitab suciNya
bahwa puncak sikapku adalah pernyataan suci
bahwa sesungguhnya aku takut kepada Allah
Apakah manusia takut kepada Tuhan?
Apakah bagi manusia, Tuhan cukup penting?
Tuhan tergeletak di belakang tumit setiap orang
Tuhan bukan subyek yang disertakan
dalam proses pengambilan keputusan

Kalau bangsa ini semakin tak memenuhi syarat untuk disebut bangsa
Kalau manusia kita semakin tak pantas disebut manusia
Adakah cara agar penerus kita kembali manusia?
(Emha Ainun Nadjib/2004/ PmBNetDok)

sesat pikir

Alangkah malang nasib bangsa yang sudah tidak mengerti nilai-nilai
Yang tidak mengerti, dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti
Yang tidak mengerti, dan tidak mengerti dan tidak berupaya untuk mengerti
Sehingga ia melangkah kesana kemari dengan penuh percaya diri
bahwa ia seolah-olah mengerti

Alangkah malang nasib bangsa yang buta matanya tak sembuh-sembuh
yang membuang-buang kebenaran dan membenar-benarkan kejahatanan

Alangkah malang nasib bangsa
yang ilmunya kesesatan dan ruhnya kegelapan
yang sekolahannya kebodohan dan teknologinya kemubadziran
yang organisasinya penghancuran dan pembangunannya kesia-siaan

Alangkah menyedihkan nasib bangsa yang tidak pernah belajar
siapa sesungguhnya pemimpin mereka, dan siapa pengkhianat kehidupan mereka

Alangkah menggelikan nasib bangsa yang menjunjung-junjung berhala
dan meyakininya sebagai Raja
Yang menyembah-nyembah bedil dan menganggapnya sebagai ratu adil

Alangkah perih nasib bangsa yang dibohongi, kemudian diberi harapan,
kemudian dibohonginya lagi, kemudian diberi harapan lagi,
namun kemudian ternyata dibohonginya lagi

Alangkah konyol nasib bangsa yang beramai-ramai
membenci harimau sambil menyerahkan nasibnya kepada buaya.
(Emha Ainun Nadjib/2004/ PmBNetDok)

Kamis, 07 Agustus 2008

Kyai Jembatan

Sesudah nyantri 25 tahun dan diajari ngaji dan ngaji melulu, sang Kyai berkata kepadanya, " Sudahlah, sekarang kamu pulang ke desamu dan bikin pesantren "

Lelaki ndeso itu kaget ..." Lho ! bikin pesantren gimana ? Saya ndak bisa apa-apa", katanya.

Bikin pesantren itu kan perlu ilmu agama yang mumpuni, perlu modal, methoda dan kualitas iman yang prima.
"Pokoknya pulang dah, bikin pesantren ", perintah sang kiayi.
Ia pulang, dan tak bikin apa-apa. Bengong saja, di rumahnya yang buruk berlantai tanah, kerja di sawah dan di kebun.

Setahun kemudian ia memperoleh warisan hampir 10 juta rupiah. Habis dalam waktu beberapa hari saja. Padahal di rumahnya tak ada perubahan apa-apa. Orang sedesa bingung, untuk apa saja itu duwit ?

Ternyata ada seorang yang sedang pailit besar, dan si 'ndeso' itu memberikan seluruh jutaan uangnya untuk menolong Pak Pailit. Ia sendiri tetap melarat.
Pak Pailit inilah yang pertama-tama melihat lelaki itu sebagai seorang yang punya watak dan mutu Kiyai, ia berkata kepada setiap anak muda, " Bergurulah kesana ".

Mereka pun berdatangan kesana untuk nyantri. " Nyantri gimana ? Saya bukan Kiai.

Saya tak bisa apa-apa ", jawab sang Ndeso. Tapi anak-anak muda itu 'ngeyel' mau ikut dia. "Baiklah", ia berkata akhirnya.
" Ikutlah saya kerja di sawah, mengerjakan kebun, memperbaiki jembatan, bikin usaha, tingkatkan ketrampilan, sambil sholat bareng-bareng. "

Dalam waktu tak lebih dari tiga tahun dusun itu berkembang makmur.
Nge 'baldah thayyibah', nge'qoryah thayyibah'. Para santri tak pernah masuk kelas. Kelas mereka adalah sawah, kebun, desa, dan disitulah sang Kiai Jembatan kasih 'pelajaran', sambil rumahnya tetep berlantai tanah.
(Emha Ainun Nadjib/Secangkir kopi Jon Pakir/Mizan/ PmBNetDok)

Jumat, 01 Agustus 2008

Hadis Kemanusiaan

Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Apa yang dimaksud dengan orang yang bangkrut (al-muflis)?”

Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang hartanya ludes.”

Kata Rasulullah, “Sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pernah mencaci orang lain, mengambil harta orang lain, melukai orang lain, dan menyakiti orang lain. Maka, pahala (shalat, puasa, dan zakat [ibadah]) yang ia dapatkan akan diserahkan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika pahalanya habis (untuk membayar dosa-dosa sosial yang pernah ia lakukan) maka dosa orang-orang itu akan diambil kemudian dibebankan kepadanya hingga ia tersungkur ke dalam neraka!” (HR. Muslim)

Dalam hadis ini Rasulullah menjelaskan makna al-muflis (orang yang bangkrut) dengan metode bertanya. Dalam dunia pendidikan, metode ini diyakini memiliki kekuatan tersendiri dalam menanamkan pemahaman kepada peserta didik. Ada yang ingin ditegaskan oleh Rasulullah untuk dipahami oleh para sahabatnya hingga ia memilih pola pembelajaran yang dimulai dengan pertanyaan.

Teks hadis itu keluar mengiringi sebuah konteks yang ada. Konteks keluarnya hadis ini adalah kondisi yang terjangkit oleh indikasi “tidak sehat” yang mungkin ada dalam jiwa dan pikiran masyarakat. Atau, sebagai upaya antisipasi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman mereka terhadap ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Kadang kala saya terecengang-cengang membaca hadis-hadis tertentu karena menangkap sesuatu yang sangat dalam dan sangat modern karena mengandung semangat humanisme yang tak tergambarkan pada masanya. Ketercengangan saya mirip dengan pujian seorang sosiolog Amerika, Robret N Bella, yang dalam bukunya Beyond Belief (1976) mengatakan bahwa Konstitusi (Piagam) Madinah yang dibuat oleh Muhammad terlalu modern bagi zamannya.

Mengapa Rasulullah melontarkan pertanyaan itu? Tersirat sangat dalam bahwa hadis itu mengandung semangat menggeser paradigma masyarakat yang dihadapi oleh Rasulullah ketika itu. Pergeseran paradigma (paradigm shift) yang dimaksud adalah menyadarkan masyarakat agar tidak terjerumus pada semangat materialisme dalam kehidupan. Yang ditanyakan oleh Rasulullah adalah sesuatu yang sangat dekat dengan paradigma materialisme: orang yang bangkrut. Orang yang bangkrut akan selalu diandaikan sebagai orang yang gagal dalam mengembangkan bisnis atau perdagangan. Orang yang bukan saja tidak mendapatkan untung, tapi juga kehilangan modal. Dalam konteks ini, jawaban para sahabat sama sekali tidak keliru.

Tanpa mengatakan kekeliruan jawaban para sahabat, Rasulullah langsung memberikan penjelasan lain tentang makna orang yang bangkrut. Dalam penjelasan ini ia menghentakkan kesadaran mereka bahwa yang dimaksud orang yang bangkrut adalah orang yang kehilangan pahalanya akibat kezaliman yang ia lakukan. Orang tersebut telah mendapatkan pahala dari ibadah-ibadah yang ia lakukan, baik shalat, puasa, dan zakat. Namun, karena sering melakukan kezaliman terhadap orang lain maka ia harus menanggung akibat yang sangat merugikan. Bukan hanya itu, ia bahkan harus menanggung dosa-dosa yang diambilkan dari orang-orang yang pernah ia zalimi karena pahalanya sudah tidak cukup untuk menutup kezaliman yang ia lakukan.

Shalat, puasa, dan zakat yang disebut dalam hadis adalah simbol dari ibadah mahdhah (murni). Islam memang sangat menekankan hal ini. Ayat dan hadis terlalu banyak yang menyebutkannya dan menunjukkan konsekwensi bagi orang yang melakukannya dan orang yang meninggalkannya. Orang yang mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain akan mendapatkan pahala dari Allah. Orang yang meninggalkan itu semua akan mendapatkan siksa dari-Nya. Berdasarkan bukti-bukti tekstual yang ada maka shalat, puasa, dan zakat memiliki hukum wajib untuk dikerjakan. Dalam disiplin ilmu ushul fikih, tiga hal ini masuk dalam kategori ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah (sesuatu yang status hukumnya sudah diketahui secara pasti dalam agama).

Motivasi hukum ini kemudian mendorong umat Islam untuk melakukannya dan takut meninggalkannya. Mereka menyadari bahwa kewajiban melakukan itu semua bersumber dari Tuhan. Jika mereka tidak melakukan, maka Tuhan akan murka dan menyiksa. Jika mereka melakukan, maka Tuhan akan senang dan memberikan pahala kepada mereka. Logika transaksional-fertikal seperti inilah yang memengaruhi pola pikir sebagian muslim dalam menjalankan ajaran agama.

Logika transaksional-fertikal dalam pribadi seorang hamba ketika berhadapan dengan Tuhan melahirkan semangat egoisme. Satu ideologi yang tidak pernah berpikir untuk orang lain. Apa pun yang dilakukan harus menguntungkan diri sendiri. Tanpa disadari, ketika seorang hamba menyapa Tuhan dengan logika transaksional-fertikal ini berarti ia sedang memposisikan (mempersepsikan) Tuhan sebagai seorang raja yang menakutkan. Ia akan memberikan hadiah besar kepada orang yang tunduk dan patuh kepadanya dan akan menyiksa orang yang tidak tunduk dan tidak patuh kepadanya. Raja seperti ini tidak akan pernah peduli pada kebaikan dan kejahatan yang ditujukan kepada selain dirinya. Dia hanya menilai segala sesuatu yang hanya ditujukan kepadanya.

Dalam dunia kerja, seorang atasan akan mengalami kerugian yang amat besar jika memiliki anak buah yang bermental transaksional-fertikal dalam berinteraksi dengan dirinya. Anak buah macam ini akan menerapkan prinsip “asal bapak senang (ABS)” ketika berhadapan dengan atasan. Orang seperti ini dapat dipastikan melakukan tindak-tanduk yang merugikan secara horisontal. Ia tidak peduli terhadap hubungan horisontal karena ia hanya berpikir mencari keuntungan fertikal yang hanya kembali kepada dirinya sendiri. Lambat laun, besar atau kecil, perusahaan (organisasi) akan mengalami kerugian karena sosok manusia seperti ini. Orang seperti inilah yang kita kenal dengan istilah “penjilat”.

Mungkinkah menjilat pada Tuhan? Mungkin sekali! Akan tetapi Tuhan bukan manusia. Tuhan tidak pernah alpa dari segala tindakan yang dilakukan oleh hamba. Boleh jadi seorang hamba berpikir menjilat Tuhan dengan melakukan perintah-Nya berdasarkan logika transaksional-fertikal. Tapi logika itu sama sekali tidak ngaruh bagi-Nya. “Kebaikan (ibadah) apa pun yang engkau lakukan untuk-Ku tidak akan memiliki nilai di hadapan-Ku jika interaksi sosialmu tidak baik terhadap sesama.” Begitu kira-kira firman Tuhan kepada hamba yang menjilat-Nya.

Ibadah (agama) yang diajarkan oleh Allah kepada manusia sejatinya untuk kebaikan manusia, bukan untuk Tuhan. Kita yakin bahwa Tuhan mahakaya dan mahakuasa. Ibadah yang kita lakukan tidak menambah kekayaan-Nya dan maksiat yang kita lakukan pun tidak mengurangi kekayaan-Nya. Keyakinan sederhana ini memiliki dampak sosial yang luar biasa. Sayang, kita sering melupakannya.

Salah satu misi Muhammad sebagai seorang Rasul adalah mengubah bentuk ibadah dan keyakinan masyarakat Mekah. Ketika itu, sebagaimana kita tahu, mereka menyembah berhala-berhala. Apa yang salah dari para penyembah berhala? Rugikah Tuhan karena mereka menyembah berhala? Sama sekali tidak. Lalu mengapa Tuhan memerintahkan Rasulullah mengubah keyakinan mereka? Ada pelecehan kemanusiaan dalam penyembahan terhadap berhala. Manusia adalah makhluk paling mulia, mengapa harus menyembah sesuatu yang lebih rendah dari dirinya? Secara sosiologis penyembahan berhala mengandung penindasan para kapitalis zaman itu terhadap masyarakat dan melahirkan kultur feodalistik yang tidak sehat.

Islam datang menebarkan pesan tauhid. Berhala-berhala itu bukan Tuhan. Tuhan adalah esa, gaib, ikonoklasme, dan tak mengenal kasta. Di hadapan Tuhan semua manusia setara. Islam datang melabrak konsepsi sosial yang melingkupi kegiatan penyembahan berhala. Ujung-ujungnya Islam ingin mempertegas kemanusiaan. Inilah gagasan yang teramat modern di jamannya. Maka, ketegangan dan konflik antara primitivitas dan modernitas tidak bisa dihindari.

Gagasan kemanusiaan (humanisme) terkandung begitu tegas dalam hadis di atas. Rasulullah mengeritik orang-orang yang terperangkap pada logika transaksional-fertikal dalam berhubungan dengan Tuhan. Orang-orang seperti ini cenderung mengabaikan hubungan kemanusiaan. Ada kecenderungan menganggap manusia tidak penting ketika ibadah-ibadah sudah ditunaikan. Saya malah berpikir bahwa saat ini banyak orang yang mengaku menyembah Allah, tapi sikap sosial mereka tidak jauh berbeda dengan para penyembah berhala. Bahkan, ada orang yang menyakiti manusia dengan dalih membela Tuhan ... Tuhan telah diberhalakan!

Sehebat apa pun perilaku ibadah seseorang tidak akan ada artinya di hadapan Tuhan jika ia sering menyakiti orang lain. Tuhan sangat menghargai kemanusiaan. Inilah inti pesan yang ada dalam hadis di atas. Inilah yang saya maksud sebagai sesuatu yang sangat modern: menjujung tinggi nilai-nilai humanisme yang untuk memahaminya kita perlu terus belajar. Sebab, humanisme bukan dogma. Ia sebentuk temuan intelektual dan spiritual yang membutuhkan waktu cukup panjang.

Terakhir, pasca hari raya Idul Fitri kita sering mengadakan acara Halal bi Halal. Kegiatan ini hanya ada di Indonesia. Inilah tradisi muslim Indonesia karena Halal bi Halal tidak dikenal oleh masyarakat muslim selain muslim Indonesia. Nah, hadis di atas sangat layak dijadikan landasan perlunya menciptakan tradisi Halal bi Halal yang makna sederhananya adalah saling memaafkan. (Taufik Damas)

Kamis, 31 Juli 2008

Menulis dengan Cinta

Beberapa Hal tentang Menulis dengan Baik dan Sukses

Menulis selalu berkaitan dengan dua hal: bentuk dan isi. Secara bentuk ia harus “menarik”, secara isi ia hendaknya “mengandung sesuatu yang mencerahkan”­­­—walaupun tentu saja dua hal ini bisa ditafsirkan amat luas. Pendeknya, tulisan yang baik (entah berupa fiksi maupun non fiksi: cerpen, novel, esai, artikel, makalah, surat cinta, laporan jurnalistik, atau puisi) hendaknya bukan saja menarik dibaca, tetapi juga mengandung kedalaman sehingga berpotensi “memberi sesuatu” kepada para pembacanya.

Lalu bagaimana agar bisa menulis dengan baik?

Untuk bisa menulis dengan baik dan memiliki kedalaman, seorang penulis hendaknya menulis dengan semacam “rasa cinta”—gairah dan rasa senang dalam menulis dan berkarya.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis dan proses kepenulisan:

  • Seorang penulis harus memiliki kecintaan terhadap dunia tulis menulis dengan segala pernak-perniknya. Jangan menulis karena terpaksa atau karena hanya ingin coba-coba. Sesuatu yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh alias setengah-setengah tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Tanya pada hati kita, apa sebetulnya niat kita menulis. Menulislah dengan cinta.

  • Seorang penulis harus mau banyak membaca. Bacalah bacaan-bacaan yang baik untuk memperkaya gizi kreatif kita. Output pasti sebanding dengan input.

  • Seorang penulis harus menguasai kaidah-kaidah dasar berbahasa dan tata cara penulisan: bagaimana menyusun kalimat yang jelas, bagaimana menulis kalimat yang efektif, bagaimana penulisan kata dan tanda baca yang benar.v Pelajari dan kuasai teknik-teknik menulis, lalu latihlah keterampilan menulis tanpa kenal lelah dan pantang putus asa (misal dalam menulis cerpen: menentukan pokok gagasan, membangun kerangka, penokohan, alur cerita, membuat lead, konflik, memutuskan ending, show it, don’t tell it).

  • Mulailah menulis sekarang juga, jangan ditunda-tunda atau mencari-cari alasan hanya untuk menutupi kelemahan kita sendiri. Jangan salahkan ilham yang tak kunjung datang.

.………….

Jangan Berhenti Menulis

Menulis adalah sebuah kerja kreatif yang bersifat individual. Seseorang yang berniat menjadi penulis harus siap dengan segala proses berliku yang menyertainya. Selain itu, terlepas dari persoalan publikasi karya dan puja-puji khalayak, sesungguhnya tugas pribadi seorang penulis adalah terus bersetia menulis, berani bergelut dengan segala prosesnya, serta tak letih menjelajahi berbagaikemungkinan demi mencapai hasil terbaik.

Bertentangan dengan orang-orang berpandangan sempit yang menganggap bahwa tulisan kreatif (cerpen, novel atau puisi) hanyalah sesuatu yang tidak serius dan hanya buah khayalan saja, bagi saya karya tulis, karya sastra, adalah sesuatu yang berharga—sama-sama berharganya dengan cabang-cabang kebudayaan lainnya. Sebuah tulisan yang baik adalah karya seni yang hanya bisa tercipta dari kecerdasan pikiran dan kepekaan hati. Ia memiliki daya tarik, sekaligus berpotensi memperkaya batin para pembacanya.

Seperti pernah dikatakan pengarang terkemuka kita Pramoedya Ananta Toer suatu kali, teruslah menulis, tak peduli apakah tulisan kita ada yang mau mempublikasikan atau tidak. Yakinlah, suatu hari karya itu akan ada gunanya. Keberhasilan adalah buah kerja keras, bukan karena keberuntungan atau nasib baik.

Anton Kurnia, penulis cerpen dan esai, buku cerpennya berjudul Insomnia (2004). Ia juga menulis Ensiklopedia Sastra Dunia (2006). Kini ia bekerja sebagai Chief Acquistion Editor di Penerbit Serambi, Jakarta. Tulisan ini merupakan semacam makalah yang disampaikan dalam workshop bertema “Creating Future Writers” di Bandung, 22 Juni 2007.

100_5243.jpg 100_5089.jpg

Hadis Keempat

Nabi saw., “Kaum muslim sama-sama berhak dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR. Abû Dâud dan Ibn Mâjah)

Hadis di atas khas membicarakan kondisi kebutuhan pokok di wilayah gurun pasir (sahara) jaman dulu kala. Air, rumput, dan api adalah milik bersama masyarakat yang tinggal di gurun pasir. Benda-benda itu sangat mereka butuhkan dalam kehidupan. Air sangat jelas kegunaannya bagi makhluk hidup: minum, mandi, wudhu, dan lain-lain. Rumput untuk memenuhi kebutuhan hewan ternak yang menjadi andalan sumber mata pencarian masyarakat gurun pasir. Api berfungsi sebagai penerangan, memasak, merokok dan lain-lain.

Tiga benda yang disebut dalam hadis di atas adalah representasi dari sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Hadis ini menekankan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan tiga benda itu. Tiga benda itu tidak boleh dikuasai (monopoli) oleh sekelompok orang, sementara yang lain harus mengeluarkan sesuatu secara berlebihan untuk mendapatkannya karena kebijakan dari kelompok yang menguasasi.

Dalam konteks kekinian dan kedisinian, tiga benda dalam hadis di atas bisa dikembangkan menjadi hal-hal lain yang sangat dibutuhkan. Tanpanya, kehidupan ini akan terhambat, bahkan hancur berantakan. Bayangkan manusia hidup tanpa air, api, dan lain-lain. Pengembangan dari tiga benda di atas bisa berarti makanan pokok (kebutuhan fisiologis) BBM, listrik, pendidikan, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Semua hal yang disebutkan adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap orang, siapa pun, harus bisa mendapatkannya dengan mudah. Jika ada regulasi, maka harus bermuara pada keadilan dan pemerataan.

Air tidak boleh dimiliki oleh pihak tertentu untuk kemudian dikomersilkan. Di Indonesia, kita mungkin tidak sadar bahwa kecenderungan komersialisasi terhadap air sudah sedemikian rupa. Jika kehausan di tengah jalan, kita akan kesulitan mendapatkan air minum secara gratis. Harus ada sejumlah uang yang kita keluarkan untuk mendapatkan minuman yang kita inginkan. Air putih pun bisa didapatkan secara gratis jika kita membeli makanan di warung. Minta air putih yang sama sekali gratis sudah tidak mungkin dilakukan karena kita sudah terperangkap pada pola pikir komersialisasi air. Jauh lebih dahsyat dari sekadar komersialisasi air, sebenarnya kita sudah masuk dalam kubangan hidup yang sepi dari semangat kepedulian sosial.

Dulu, di masyarakat kita masih banyak rumah yang menyediakan air kendi di depannya. Air kendi itu disediakan untuk siapa saja yang lewat dan kehausan. Orang masih berpikir bahwa di antara orang yang jalan di depan rumah pasti ada yang kehausan. Untuk itu, mereka harus dibantu dengan menyediakan air minum secara gratis. Kini, orang sudah tidak pernah lagi menyediakan kepedulian pada mereka yang kehausan di jalan. Apalagi pada mereka yang kelaparan. Lebih jauh lagi pada mereka yang kesulitan mendapatkan hak pendidikan dan kesehatan.

Di masyarakat Mesir masih ada kepedulian pada orang yang haus di jalanan. Di pinggir jalan-jalan kota Kairo di sediakan sarana air minum gratis yang disebut tsalaga (kulkas tapi tidak sama dengan kulkas rumah). Tsalaga ini berbentuk kotak (ukuran 1 X 0,5 M) dan di bagian tengahnya ada dua kran yang mengucurkan air segar nan dingin. Saat musim panas, keberadaan tsalaga ini sangat membantu mereka yang kehausan di jalan. Siapa pun bisa mengambil air itu secara gratis: sopir taksi, sopir angkot, tukang angkut sampah, mahasiwa, pegawai negeri dan lain-lain. Artinya, orang kehausan di jalan, tidak punya uang sepeser pun, tetap bisa minum air segar dengan mudah dan tanpa meminta. Air benar-benar menjadi milik bersama yang gratis.

Tidak berlebihan jika air dijadikan standar kepedulian sosial masyarakat. Jika pada suatu masyarakat air sudah dikomersialisasikan sedemikian rupa, maka banyak hal lain yang diperlakukan secara sama hingga masyarakat kehilangan hak-hak dasar dalam hidupnya. Kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja akan menjadi barang mahal yang sulit digapai. Bayangkan, adakah masyarakat seperti itu? Indonesia!

Selain air, dalam hadis di atas, yang menjadi milik bersama adalah api dan rumput. Rumput jelas sudah tidak relevan untuk dielaborasi dalam konteks kekinian. Mari kita bicara soal api. Yang dimaksud api dalam hadis di atas adalah sumber api yang kini kita kenal dengan istilah BBM (Bahan Bakar Minyak).

Saya tidak sedang berapologi jika saya katakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan ajaran baik berkenaan dengan pengelolaan BBM. Dalam hadis di atas dikatakan secara tegas bahwa BBM adalah milik masyarakat, milik rakyat, milik bangsa. Tidak ada sekelompok orang yang boleh menguasai (monopoli) kebijakan BBM ini, baik menyangkut ekspor-impor, ketentuan harga, dan distribusi. Pemerintah harus selalu berpikir demi kepentingan rakyat dalam membuat berbagai regulasi BBM. Dalam konteks ini, wajar rakyat menolak kenaikan harga BBM yang baru-baru ini terjadi.

Dengan alasan apa pun, kenaikan harga BBM terakhir ini adalah bentuk ketidakpedulian pemerintah pada rakyat. Kenaikan harga BBM dunia tidak bisa dijadikan alasan menaikkan harga BBM dalam negeri karena harga BBM tidak bisa diserahkan pada logika ekonomi pasar. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang tidak perlu dipengaruhi oleh perkembangan harga BBM internasional.

Banyak hal-hal yang tidak dijelaskan secara transparan seputar kebijakan harga BBM. Dengan menggunaka logika sederhana, pemerintah mencabut subsidi BMM yang jumlahnya Rp. 34 Trilyun (kalau salah tolong dibetulkan). Kemudian pemerintah mengucurkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menghabiskan dana sekitar Rp. 20 Trilyun (kalo salah tolong dibetulkan lagi). Sisanya Rp. 14 Triyun. Berapa dana yang digunakan pemerintah untuk “membeli” suara dari parpol-parpol agar menyetujui kebijakan kenaikan harga BBM (cabut subsidi)? Untuk yang satu ini memang tidak akan pernah ditemukan laporan yang jelas.

Dengan kata lain, uang negara yang didapat dari pencabutan subsidi BBM sama sekali tidak ada artinya bagi stabilitas APBN. Lantas mengapa subsidi BBM tetap dicabut? Perlu data serius untuk menjawabnya. Konon, ada orang-orang tertentu yang membuat pemerintah tidak bisa tidak menaikkan harga BBM karena itu menyangkut “keuntung rutin” mereka. Mereka inilah yang disebut “mafia BBM”.

Intinya, pesan hadis di atas adalah pemerataan dan keadilan bagi masyarakat dalam mendapatkan hak-hak dasar hidupnya. Pemerintah harus memerhatikan hak-hak dasar masyarakat: air, BBM, listrik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Jika dalam semua hal itu pemerintah tidak mampu memberikan keadilan dan pemerataan, pasti ada yang tidak beres di negeri ini. (Taufik Damas)

Selasa, 29 Juli 2008

Hadis Ketiga

Suatu hari Rasulullah duduk bersama para sahabat, lalu ada orang yang berjalan dengan semangat. Salah seorang sahabat komentar, “Andai saja semangat itu terlihat dalam jihad di jalan Allah.”

Mendengar hal itu beliau berkata, “Jika ia keluar untuk anaknya yang masih kecil maka hal itu sudah termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk orangtuanya yang sudah tua maka hal itu termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk dirinya guna menjaga kehormatan maka termasuk di jalan Allah. Namun, jika ia keluar karena riya dan menyombongkan diri maka ia berada di jalan setan.” (HR. Al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîr 19/129)

Amrozi, Iman Samudra, Ali Gufron dan banyak orang yang mungkin belum pernah membaca atau mendengar hadis ini. Kalaupun mereka sudah membaca atau mendengarnya, mungkin hadis itu tidak efektif bagi mereka hanya karena Rasulullah sudah tiada. Padahal, pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah harus dilihat dan dirasakan sebagai spirit hidup bagi siapa pun yang mendengar dan membacanya. Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan yang dimaksudkan menjadi pembimbing manusia di setiap zaman. Ia masih hidup atau telah tiada, sama saja. Yang terpenting darinya adalah pesan-pesan yang ia sampaikan kepada manusia.

Dalam hadis di atas Rasulullah jelas mengoreksi kesalahan seorang sahabat dalam memahami “ruang-juang” kehidupan yang memiliki nilai mulia dalam pandangan Allah. Sang sahabat itu begitu sempit memahami ruang-juang yang mulia dalam pandangan Allah. Ia hanya melihatnya ada pada aktivitas “jihad” di medan perang. Ketika ia melihat orang yang berjalan dengan semangat, maka imajinasinya begitu mudah menghampiri panorama peperangan. Untung saja ketika itu masih ada Rasulullah hingga koreksinya terhadap pemahaman keliru sang sahabat menjadi efektif.

Sang sahabat pasti langsung menyadari kekeliruannya karena ia mendapatkan koreksi dari manusia yang “tidak bicara berdasarkan keinginannya, melainkan dari Tuhannya.” Dia akan menyadari kekeliruannya, kemudian cakrawala pandangannya menjadi luas seluas cinta dan kasih Allah terhadap makhluknya.

Orang yang memandang ruang juang dalam hidup seperti sahabat dalam hadis di atas cukup bejibun. Figur sahabat dalam hadis itu menunjukkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Jika kita gunakan logika kemungkinan, di zaman sekarang ini tentu jumlah orang seperti sahabat itu jauh lebih banyak. Pada masa Rasulullah masih hidup saja ada orang yang keliru memahami “ruang juang kemuliaan”, apa lagi di jaman sekarang ini. Bedanya hanya terletak pada efektifitas koreksi karena ada dan tiadanya Rasulullah.

Rasulullah sudah tiada sejak berabad-abad yang lalu. Dalam konteks kematian, Rasulullah adalah manusia biasa yang menerima takdir kematian seperti manusia lainnya. Sebagian orang lantas tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan yang pernah ia sampaikan. Pesan kemanusiaan itu seolah hilang bersama hilangnya Rasulullah dari panggung dunia. Mereka tidak mampu menghidupkan Rasulullah kembali dalam hati dan jiwa mereka. Ironinya, mereka tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan itu justru di zaman yang sangat membutuhkan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang yang saya sebutkan di atas adalah contoh paling aktual dari manusia yang tidak mampu menangkap dan menebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah. Bagi mereka hanya ada satu jalan untuk menggapai kemuliaan agama, yaitu perang atau menebarkan teror.

Saya tidak ingin masuk dalam kontroversi makna jihad. Dalam hadis di atas, jihad yang dimaksud oleh sang sahabat adalah perang yang konsekwensinya mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa. Dalam sejarah, perang pernah dilakukan oleh masyarakat mana pun, tanpa kecuali. Dan, secara umum, masyarakat dunia saat ini telah mengubur kecenderngan itu dalam-dalam. Perang fisik, cucuran darah, dan hilangnya nyawa adalah bagian dari sejarah yang tidak boleh terulang. Dalam konteks kekinian perang adalah anomali, dan anomali itu memalukan. Hidup harus diisi dengan aktivitas dan sikap keadaban karena begitulah kecenderungan manusia normal yang selalu terbimbing oleh akal sehatnya.

Di atas telah saya sebutkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Kerentanan inilah yang menyebabkan kekeliruan itu menjadi sesuatu yang bersifat laten. Menyebut Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron adalah sekadar memberikan contoh aktual dari kekeliruan memahami Islam. Selain mereka, masih banyak orang yang memendam kekeliruan itu secara kuat dan potensial.

Saya pernah melihat seorang anak yang masih duduk di bangku SD memakai kaos yg menunjukkan afiliasinya kepada oraganisasi Islam tertentu. Kaos yang ia pakai tampak begitu pas dengan ukuran tubuhnya yang masih kecil. Kaos itu jelas bukan untuk orang dewasa. Yang mencengangkan pada kaos itu tertulis kalimat “Mujahid Muda”. Bisa dipastikan bahwa anak itu tidak mengerti maksud dari kalimat termaktub. Kalimat itu adalah “doktrin”, “agitasi”, “sparasi”, “ekslusi” yang dalam sejarah sering berujung pada genosida. Saya hanya bisa marah dan kecewa dalam hati melihat kalimat itu.

Dalam hadis di atas Nabi Muhammad dengan tegas mengoreksi pemahaman sang sahabat yang keliru. Nabi Muhammad ingin mengatakan kepadanya (tentu kepada kita juga) bahwa untuk menggapai kemuliaan di hadapan Allah ada banyak cara yang mudah, sederhana, dan dekat dengan kehidupan kita. Saking dekatnya, kita sudah lama melakukannya. Mencari rezki untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah aktivitas mulia di hadapan Allah. Setiap pagi pergi ke kantor, pasar, terminal, dan lain sebagainya adalah aktivitas mulia di hadapan Allah.

Sang suami yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya adalah mulia di hadapan Allah. Begitu pula dengan sang istri. Sang anak yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan orangtuanya adalah mulia di hadapan Allah. Bahkan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri pun kemuliaan di hadapan Allah. Mengapa? Jika saya tidak berusaha memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri, maka saya akan menjadi beban orang lain (bisa saudara, keluarga, atau tetangga). Orang lain akan terusik dan terganggu karena saya tidak mampu membiayai diri sendiri. Keterusikan seperti ini akan menyeret kita pada kondisi pertentangan dan konflik yang merusak kedamaian keluarga dan masyarakat.

Terakhir, saya ingin menekankan dan mengajak orang untuk melihat hal-hal positif dan mudah dalam Islam. Allah tidak pernah menuntut hamba melakukan hal-hal negatif dan merusak dengan alasan apa pun. Kerja-kerja sederhana yang tiap hari kita lakukan adalah jalan luas menuju kepada-Nya. Dia selalu bersama kita selama kita tidak menyakiti siapa pun dan dan tidak merugikan seorang pun. (Taufik Damas)