Kamis, 31 Juli 2008

Hadis Keempat

Nabi saw., “Kaum muslim sama-sama berhak dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR. Abû Dâud dan Ibn Mâjah)

Hadis di atas khas membicarakan kondisi kebutuhan pokok di wilayah gurun pasir (sahara) jaman dulu kala. Air, rumput, dan api adalah milik bersama masyarakat yang tinggal di gurun pasir. Benda-benda itu sangat mereka butuhkan dalam kehidupan. Air sangat jelas kegunaannya bagi makhluk hidup: minum, mandi, wudhu, dan lain-lain. Rumput untuk memenuhi kebutuhan hewan ternak yang menjadi andalan sumber mata pencarian masyarakat gurun pasir. Api berfungsi sebagai penerangan, memasak, merokok dan lain-lain.

Tiga benda yang disebut dalam hadis di atas adalah representasi dari sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Hadis ini menekankan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan tiga benda itu. Tiga benda itu tidak boleh dikuasai (monopoli) oleh sekelompok orang, sementara yang lain harus mengeluarkan sesuatu secara berlebihan untuk mendapatkannya karena kebijakan dari kelompok yang menguasasi.

Dalam konteks kekinian dan kedisinian, tiga benda dalam hadis di atas bisa dikembangkan menjadi hal-hal lain yang sangat dibutuhkan. Tanpanya, kehidupan ini akan terhambat, bahkan hancur berantakan. Bayangkan manusia hidup tanpa air, api, dan lain-lain. Pengembangan dari tiga benda di atas bisa berarti makanan pokok (kebutuhan fisiologis) BBM, listrik, pendidikan, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Semua hal yang disebutkan adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap orang, siapa pun, harus bisa mendapatkannya dengan mudah. Jika ada regulasi, maka harus bermuara pada keadilan dan pemerataan.

Air tidak boleh dimiliki oleh pihak tertentu untuk kemudian dikomersilkan. Di Indonesia, kita mungkin tidak sadar bahwa kecenderungan komersialisasi terhadap air sudah sedemikian rupa. Jika kehausan di tengah jalan, kita akan kesulitan mendapatkan air minum secara gratis. Harus ada sejumlah uang yang kita keluarkan untuk mendapatkan minuman yang kita inginkan. Air putih pun bisa didapatkan secara gratis jika kita membeli makanan di warung. Minta air putih yang sama sekali gratis sudah tidak mungkin dilakukan karena kita sudah terperangkap pada pola pikir komersialisasi air. Jauh lebih dahsyat dari sekadar komersialisasi air, sebenarnya kita sudah masuk dalam kubangan hidup yang sepi dari semangat kepedulian sosial.

Dulu, di masyarakat kita masih banyak rumah yang menyediakan air kendi di depannya. Air kendi itu disediakan untuk siapa saja yang lewat dan kehausan. Orang masih berpikir bahwa di antara orang yang jalan di depan rumah pasti ada yang kehausan. Untuk itu, mereka harus dibantu dengan menyediakan air minum secara gratis. Kini, orang sudah tidak pernah lagi menyediakan kepedulian pada mereka yang kehausan di jalan. Apalagi pada mereka yang kelaparan. Lebih jauh lagi pada mereka yang kesulitan mendapatkan hak pendidikan dan kesehatan.

Di masyarakat Mesir masih ada kepedulian pada orang yang haus di jalanan. Di pinggir jalan-jalan kota Kairo di sediakan sarana air minum gratis yang disebut tsalaga (kulkas tapi tidak sama dengan kulkas rumah). Tsalaga ini berbentuk kotak (ukuran 1 X 0,5 M) dan di bagian tengahnya ada dua kran yang mengucurkan air segar nan dingin. Saat musim panas, keberadaan tsalaga ini sangat membantu mereka yang kehausan di jalan. Siapa pun bisa mengambil air itu secara gratis: sopir taksi, sopir angkot, tukang angkut sampah, mahasiwa, pegawai negeri dan lain-lain. Artinya, orang kehausan di jalan, tidak punya uang sepeser pun, tetap bisa minum air segar dengan mudah dan tanpa meminta. Air benar-benar menjadi milik bersama yang gratis.

Tidak berlebihan jika air dijadikan standar kepedulian sosial masyarakat. Jika pada suatu masyarakat air sudah dikomersialisasikan sedemikian rupa, maka banyak hal lain yang diperlakukan secara sama hingga masyarakat kehilangan hak-hak dasar dalam hidupnya. Kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja akan menjadi barang mahal yang sulit digapai. Bayangkan, adakah masyarakat seperti itu? Indonesia!

Selain air, dalam hadis di atas, yang menjadi milik bersama adalah api dan rumput. Rumput jelas sudah tidak relevan untuk dielaborasi dalam konteks kekinian. Mari kita bicara soal api. Yang dimaksud api dalam hadis di atas adalah sumber api yang kini kita kenal dengan istilah BBM (Bahan Bakar Minyak).

Saya tidak sedang berapologi jika saya katakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan ajaran baik berkenaan dengan pengelolaan BBM. Dalam hadis di atas dikatakan secara tegas bahwa BBM adalah milik masyarakat, milik rakyat, milik bangsa. Tidak ada sekelompok orang yang boleh menguasai (monopoli) kebijakan BBM ini, baik menyangkut ekspor-impor, ketentuan harga, dan distribusi. Pemerintah harus selalu berpikir demi kepentingan rakyat dalam membuat berbagai regulasi BBM. Dalam konteks ini, wajar rakyat menolak kenaikan harga BBM yang baru-baru ini terjadi.

Dengan alasan apa pun, kenaikan harga BBM terakhir ini adalah bentuk ketidakpedulian pemerintah pada rakyat. Kenaikan harga BBM dunia tidak bisa dijadikan alasan menaikkan harga BBM dalam negeri karena harga BBM tidak bisa diserahkan pada logika ekonomi pasar. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang tidak perlu dipengaruhi oleh perkembangan harga BBM internasional.

Banyak hal-hal yang tidak dijelaskan secara transparan seputar kebijakan harga BBM. Dengan menggunaka logika sederhana, pemerintah mencabut subsidi BMM yang jumlahnya Rp. 34 Trilyun (kalau salah tolong dibetulkan). Kemudian pemerintah mengucurkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menghabiskan dana sekitar Rp. 20 Trilyun (kalo salah tolong dibetulkan lagi). Sisanya Rp. 14 Triyun. Berapa dana yang digunakan pemerintah untuk “membeli” suara dari parpol-parpol agar menyetujui kebijakan kenaikan harga BBM (cabut subsidi)? Untuk yang satu ini memang tidak akan pernah ditemukan laporan yang jelas.

Dengan kata lain, uang negara yang didapat dari pencabutan subsidi BBM sama sekali tidak ada artinya bagi stabilitas APBN. Lantas mengapa subsidi BBM tetap dicabut? Perlu data serius untuk menjawabnya. Konon, ada orang-orang tertentu yang membuat pemerintah tidak bisa tidak menaikkan harga BBM karena itu menyangkut “keuntung rutin” mereka. Mereka inilah yang disebut “mafia BBM”.

Intinya, pesan hadis di atas adalah pemerataan dan keadilan bagi masyarakat dalam mendapatkan hak-hak dasar hidupnya. Pemerintah harus memerhatikan hak-hak dasar masyarakat: air, BBM, listrik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Jika dalam semua hal itu pemerintah tidak mampu memberikan keadilan dan pemerataan, pasti ada yang tidak beres di negeri ini. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar: