Rabu, 23 Juli 2008

Hadis Pertama


Nabi saw. bersabda, “Segala tindakan dipengaruhi oleh niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”

Hampir semua kitab hadis meletakkan hadis ini pada urutan pertama. Hadis ini selalu menjadi hadis nomor satu dalam penulisannya. Saya dapat memahami yang demikian itu karena hadis ini berbicara soal sesuatu yang selalu berada pada urutan pertama dalam setiap tindakan manusia: niat.

Dalam khazanah kitab-kitab fikih, kata “niat” dalam hadis ini sering ditekankan hanya pada aspek ibadah. Dalam ibadah, manusia harus meniatkan ibadahnya “hanya untuk Allah”. Jika tidak, maka ibadahnya tidak diterima. Semua muslim pasti menyadari hal ini. Hanya saja, setiap orang berbeda-beda dalam penghayatan tentang niat. Perbedaan penghayatan tentang niat ini memengaruhi sikap.

Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, jika ia menyadari betul bahwa puasanya karena dan hanya untuk Allah, maka sikap sinisnya terhadap orang yang tidak puasa menjadi tidak relevan. Jika saya berpuasa, saya tidak akan terganggu oleh seribu warung makan yang buka di siang hari sebab puasa saya karena dan hanya untuk Allah, bukan karena dan untuk yang lain.

Jika saya berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian saya sinis terhadap orang yang tidak puasa atau terhadap warung-warung yang buka pada siang hari, berarti penghayatan saya akan niat (karena dan hanya untuk Allah) kurang mendalam. Bisa jadi malah terkecoh. Uniknya, banyak orang puasa justru meminta hormat dari mereka yang tidak berpuasa. Puasa hanya sekadar contoh. Masalah ini bisa dikembang dalam ibadah-ibadah yang lain.

Tidak salah memahami pentingnya niat dalam ibadah mahdhah (murni). Namun, berhenti hanya sampai di situ adalah sikap reduktif (mengurangi). Karena, dalam hadis di atas tidak ada pembatasan bahwa niat hanya berlaku pada ibadah.

Sejatinya, niat sangat diperlukan dalam semua tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini, kata “niat” harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang modern, yaitu “komitmen”. Niat bukan sekadar ucapan “Saya niat ...”, tapi niat adalah komitmen seseorang sebelum melakukan apa yang akan ia kerjakan untuk menggapai apa yang inginkan.

Seorang penjual bakso, jika sejak awal ia tidak memiliki komitmen untuk menghabiskan dagangannya agar mencapai target omzet sekian rupiah, tentu dia akan berjualan dengan santai. Lambat laun ia akan mengalami kegegalan atau sulit untuk berkembang. Kegiatan menjual baksonya tidak akan pernah mengubah status ekonominya.

Beda dengan tukang bakso yang sejak awal memiliki komitmen bahwa dagangannya harus mendapatkan omzet sekian rupiah. Tukang bakso dengan komitmen, tentu lebih giat dalam memasarkan baksonya supaya mencapai target yang ia inginkan.

Kasus tukang bakso ini tentu bisa dikembangkan ke dalam berbagai ruang kehidupan yang kita jalani.

Niat atau komitmen adalah sahabat karib cita-cita. Tanpa komitmen, jangan harap orang akan menggapai cita-cita. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar: