Senin, 28 Juli 2008

Hadis Kedua

Suatu hari Rasulullah masuk masjid dan menemukan seorang dari kelompok Anshar sedang berdiam diri di dalamnya. Orang itu bernama Abu Umamah. Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau ada di sini, padahal sekarang bukan waktu shalat?”

Abu Umamah menjawab, “Aku sedang sedih dan gundah karena banyak utang.”

Rasulullah, “Maukah aku ajarkan beberapa kalimat (doa) yang jika engkau ucapkan, Allah akan menghapuskan kesedihanmu dan melunasi utang-utangmu?”

Abu Umamah, “Tentu mau, wahai Rasulullah.”

Rasululllah, “Setiap pagi dan sore, ucapkanlah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

‘Ya Allah, aku berlinding kepada-Mu dari perasan sedih dan gundah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan bakhil, serta aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang lain (semacam debt collector).’”

Abu Umamah berkata, “Aku lantas melakukan apa yang diajarkan Rasulullah kepadaku, kemudian Allah menghapus kesedihan dan kegundahan dari hatiku serta melunasi utang-utangku.” (HR. Abu Daud. Banyak perawi lain meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun substansinya sama).

“Luar biasa!” Itulah kata pertama yang terucap dalam hati saya ketika dalam hadis ini saya menemukan sesuatu yang sangat rasional dan relevan bagi kehidupan kita. Sebagian orang memandang hadis ini lebih pada aspek doa dengan berbagai persepsi (yang kadang keliru).

Hadis-hadis macam ini sering menjadi sumber kesalahpahaman orang dalam memahami arti dan fungsi doa dalam kehidupan. Banyak orang kemudian berpikir dan berkeyakinan bahwa doa yang ada dalam hadis di atas (dan doa lainnya) akan dengan sendirinya menyelesaikan problem yang dihadapi oleh seseorang ketika diucapkan. Lantas, apa bedanya dengan jampi-jampi dari seorang dukun?

Ada juga orang yang berpandangan ambigu: satu sisi dia percaya bahwa doa akan menyelesaikan problem yang dihadapi, di sisi lain dia juga percaya bahwa untuk menyelesaikan problem orang harus berusaha sekuat tenaga. Ambiguitas (sikap mendua) macam ini begitu menyebar dalam pikiran mempengaruhi ambang bawah sadar, dan kita cenderung menghindar menyelesaikannya secara filosofis. Pertanyaan paling mendasar dalam hal ini adalah jika kita percaya bahwa doa akan menyelesaikan problem yang kita hadapi, mengapa kita harus berusaha? Atau, jika kita percaya bahwa usahalah yang menyelesaikan problem, mengapa harus berdoa?

Meng-iya-kan pertanyan pertama (doa menyelesaikan berbagai problem) melahirkan fatalisme (jabariyah), sedang meng-iya-kan jawaban kedua (usaha tak perlu doa) melahirkan materialisme-sekularistik (mâdiyah-elmaniyah). Fatalisme adalah pandangan atau keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah. Manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya. Segala sesuatu sudah digariskan oleh Allah hingga usaha manusia tidak memiliki pengaruh sedikit pun dalam menentukan apa pun. Sesuatu yang sering dikemukakan untuk memperkuat pandangan ini adalah contoh-contoh kongkret dalam kehidupan yang diperlakukan secara diametrical opposite (bertentangan secara berhadap-hadapan). Si Polan sangat gigih dalam berusaha. Apa pun ia kerjakan untuk mendapatkan rezeki. Tetapi ia tetap hidup dalam keterbatasan ekonomi alias tidak pernah jadi orang kaya. Kasus Polan kemudian dihadapkan dan dipertentangkan dengan kasus Sugali yang hanya ongkang-ongkang kaki setiap hari, tapi bisa mendapatkan kekayaan yang berlimpah.

Contoh Polan dan Sugali diperlakukan secara diametrical opposite karena orang cenderung lupa dan mengabaikan bahwa kasus Polan dan Sugali tidak bisa diposisikan seperti itu. Karena, di samping keduanya ada contoh lain yang lebih rasional: Ong Hok Ham giat kerja dan usaha kemudian mendapatkan kekayaannya karena usahanya yang giat itu. Ada juga Sudrun yang pemalas dan konsekwen menjadi tetap miskin. Jadi, menggunakan contoh Polan dan Sugali yang diposisikan secara diametrical opposite tidak cukup kuat dijadikan bukti untuk membenarkan keyakinan fatalisme karena di dalamnya terdapat fallacy (kesalahan berpikir).

Selanjutanya adalah materialisme-sekularistik (mâdiyah-elmaniyah) yang sering dianggap sebagai dampak negatif dari pemikiran “anti-doa”. Stigmatisasi (tuduhan negatif) terhadap paham materialisme-sekularistik terjadi karena paham ini selalu dikaitkan dengan kesadaran “anti Tuhan”: tidak berdoa berarti tidak percaya pada kekuasan Tuhan atau mereduksi kekuasaan-Nya (?). Stigmatisasi semacam ini lahir karena semangat simplifikasi yang ada dalam doktrin-doktrin agama yang ditanamkan kepada kita. Itu sebabnya, teori evolusi darwinian menjadi bulan-bulanan agamawan karena dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya pemikiran yang menyingkirkan Tuhan dari kehidupan. Padahal tidak harus demikian, dan saya tidak ingin menjelaskannya di sini.

Kembali pada sesuatu yang luar biasa yang saya temukan dalam hadis di atas. Mari kita amati redaksi hadis di atas. Pertama, Abu Umamah diajarkan untuk memohon perlindungan dari kesedihan dan kegudahan (psikologis). Kedua ia diajarkan untuk memohon perlindungan dari kelemahan dan kemalasan (mental). Ketiga, ia diajarkan untuk memohon perlindungan dari sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial). Keempat, ia diajarkan untuk memohon perlindungan dari utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, yang menjadi sasaran pertama dan utama untuk diperbaiki dalam rangka mengubah kondisi sosial seseorang atau satu masyarakat adalah sesuatu yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan. Sedih dan gundah adalah kondisi kejiwaan negatif yang menjadi penghalang orang untuk bangkit melawan mental yang lemah dan malas. Orang yang sedang sedih dan gundah pasti memiliki sikap mental yang lemah dan malas. Sebaliknya, hati yang ceria akan mendorong orang untuk menjadi bermental kuat dan semangat.

Ketika suasana jiwa sudah ceria, mental menguat dan semangat, di hadapan kita ada lagi dinding penghalang menuju kebangkitan, yaitu sikap pengecut dan bakhil. Dalam dunia bisnis, sikap pengecut membuat orang tidak berani mengambil keputusan menerobos untuk mengembangkan bisnis. Banyak orang yang mengalami kesuksesan dalam bisnis karena ia berani melawan sikap pengecut yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, karena sikap pengecut orang menjadi kehilangan kesempatan baik yang ada di hadapannya. Ia menjadi sosok peragu yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Dalam politik, sikap seperti ini akan merugikan orang banyak.

Melawan sikap pengecut bukan berarti harus bertindak atau mengambil keputusan tanpa pertimbangan obyektif. Justru, sikap pengecut itu adalah ketidakberanian dalam bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan data-data obyektif yang mengharuskan seseorang segera bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan.

Jiwa ceria, mental kuat dan semangat, serta sikap berani harus dilengkapi dengan sikap murah hati (tidak bakhil). Setiap orang akan menyukai orang yang murah hati. Secara individual, orang yang murah hati sepintas lalu tampak sebagai orang yang mengurangi hak pribadinya. Jika saya memiliki uang Rp. 1.000.000, kemudian saya sedekahkan (murah hati) Rp. 100.000, maka hak pribadi saya menjadi berkurang tinggal Rp. 900.000. Akan tetapi, secara sosial saya mendapatkan hak-hak yang jauh lebih besar dari seratus ribu yang telah saya sedekahkan kepada orang lain. Hak-hak sosial itu bisa berarti penghormatan, ketundukan (naluriah), dan kehendak untuk setia dari orang lain kepada saya. Pribahasa Arab mengatakan, al-khayr yasta’bid al-nâs (Kebaikan akan memperbudak orang lain).

Ketika orang-orang di sekitar kita sudah memberikan rasa hormat dan kesetiaan pada kita, maka rencana apa pun yang kita inginkan untuk mereka kerjakan pasti akan dilaksanakan dengan baik. Sampai di sini, dalam dunia bisnis kita sudah berada di ambang kesuksesan. Namun, masih ada satu lagi yang menghalangi orang untuk sukses, yaitu lilitan utang dan tekanan orang lain. Dua hal ini berhubungan sangat erat dalam dunia bisnis. Jika saya dililit utang, saya akan ditekan oleh orang yang memberikan piutang kepada saya. Apa artinya perusahaan besar yang dibangun di atas lilitan utang?

Utang adalah hal biasa dalam dunia bisnis. Hampir tidak ada bisnis tanpa utang. Orang bahkan berlomba mengutang untuk membangun sebuah bisnis. Tetapi utang harus rasional. Hari ini saya berutang, dalam jangka waktu tertentu saya harus mampu mengembalikan utang itu kepada pemilik piutang. Pengembalian itu harus hasil dari uang pinjaman yang saya kelola. Itulah logika utang yang rasional.

Yang diajarkan oleh Nabi kepada Abu Umamah adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dayn). Lilitan utang adalah utang yang tidak rasional. Utang yang lebih besar dari kemampuan seseorang atau sebuah perusahaan untuk mengembalikannya. Ketika utang lebih besar dari kemampuan, maka utang itu akan melilit. Pihak yang memberikan piutang akan menagih dan mengejar dengan berbagai cara. Karena tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka meja hijau akan menjadi tempat yang tidak bisa dihindari, bahkan bisa berakhir di terali besi. Ujung-ujungnya, ia justru kembali menjadi manusia yang berjiwa sedih dan gundah.

Kesimpulannya, hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa syarat kesuksesan adalah jiwa yang ceria, mental yang kuat dan semangat, sikap berani dan murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Saya tidak melarang siapa pun memahami hadis di atas dengan pemahaman yang tidak sejalan dengan apa yang telah saya paparkan. Bisa jadi ada orang yang memahami hadis di atas laksana “mantra-mantra” untuk membebaskan diri dari lilitan utang. Jika itu diyakini, bukan tidak mungkin ia akan terbebas dari lilitan utang. Dalam psikologi ada terma yang menjelaskan hal ini secara rasional. Terma itu disebut dengan “efek placebo”: karena Anda yakin bahwa sesuatu akan mempengaruhi sesuatu yang lain, maka terjadilah apa yang Anda yakini. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar: