Selasa, 29 Juli 2008

Hadis Ketiga

Suatu hari Rasulullah duduk bersama para sahabat, lalu ada orang yang berjalan dengan semangat. Salah seorang sahabat komentar, “Andai saja semangat itu terlihat dalam jihad di jalan Allah.”

Mendengar hal itu beliau berkata, “Jika ia keluar untuk anaknya yang masih kecil maka hal itu sudah termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk orangtuanya yang sudah tua maka hal itu termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk dirinya guna menjaga kehormatan maka termasuk di jalan Allah. Namun, jika ia keluar karena riya dan menyombongkan diri maka ia berada di jalan setan.” (HR. Al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîr 19/129)

Amrozi, Iman Samudra, Ali Gufron dan banyak orang yang mungkin belum pernah membaca atau mendengar hadis ini. Kalaupun mereka sudah membaca atau mendengarnya, mungkin hadis itu tidak efektif bagi mereka hanya karena Rasulullah sudah tiada. Padahal, pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah harus dilihat dan dirasakan sebagai spirit hidup bagi siapa pun yang mendengar dan membacanya. Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan yang dimaksudkan menjadi pembimbing manusia di setiap zaman. Ia masih hidup atau telah tiada, sama saja. Yang terpenting darinya adalah pesan-pesan yang ia sampaikan kepada manusia.

Dalam hadis di atas Rasulullah jelas mengoreksi kesalahan seorang sahabat dalam memahami “ruang-juang” kehidupan yang memiliki nilai mulia dalam pandangan Allah. Sang sahabat itu begitu sempit memahami ruang-juang yang mulia dalam pandangan Allah. Ia hanya melihatnya ada pada aktivitas “jihad” di medan perang. Ketika ia melihat orang yang berjalan dengan semangat, maka imajinasinya begitu mudah menghampiri panorama peperangan. Untung saja ketika itu masih ada Rasulullah hingga koreksinya terhadap pemahaman keliru sang sahabat menjadi efektif.

Sang sahabat pasti langsung menyadari kekeliruannya karena ia mendapatkan koreksi dari manusia yang “tidak bicara berdasarkan keinginannya, melainkan dari Tuhannya.” Dia akan menyadari kekeliruannya, kemudian cakrawala pandangannya menjadi luas seluas cinta dan kasih Allah terhadap makhluknya.

Orang yang memandang ruang juang dalam hidup seperti sahabat dalam hadis di atas cukup bejibun. Figur sahabat dalam hadis itu menunjukkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Jika kita gunakan logika kemungkinan, di zaman sekarang ini tentu jumlah orang seperti sahabat itu jauh lebih banyak. Pada masa Rasulullah masih hidup saja ada orang yang keliru memahami “ruang juang kemuliaan”, apa lagi di jaman sekarang ini. Bedanya hanya terletak pada efektifitas koreksi karena ada dan tiadanya Rasulullah.

Rasulullah sudah tiada sejak berabad-abad yang lalu. Dalam konteks kematian, Rasulullah adalah manusia biasa yang menerima takdir kematian seperti manusia lainnya. Sebagian orang lantas tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan yang pernah ia sampaikan. Pesan kemanusiaan itu seolah hilang bersama hilangnya Rasulullah dari panggung dunia. Mereka tidak mampu menghidupkan Rasulullah kembali dalam hati dan jiwa mereka. Ironinya, mereka tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan itu justru di zaman yang sangat membutuhkan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang yang saya sebutkan di atas adalah contoh paling aktual dari manusia yang tidak mampu menangkap dan menebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah. Bagi mereka hanya ada satu jalan untuk menggapai kemuliaan agama, yaitu perang atau menebarkan teror.

Saya tidak ingin masuk dalam kontroversi makna jihad. Dalam hadis di atas, jihad yang dimaksud oleh sang sahabat adalah perang yang konsekwensinya mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa. Dalam sejarah, perang pernah dilakukan oleh masyarakat mana pun, tanpa kecuali. Dan, secara umum, masyarakat dunia saat ini telah mengubur kecenderngan itu dalam-dalam. Perang fisik, cucuran darah, dan hilangnya nyawa adalah bagian dari sejarah yang tidak boleh terulang. Dalam konteks kekinian perang adalah anomali, dan anomali itu memalukan. Hidup harus diisi dengan aktivitas dan sikap keadaban karena begitulah kecenderungan manusia normal yang selalu terbimbing oleh akal sehatnya.

Di atas telah saya sebutkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Kerentanan inilah yang menyebabkan kekeliruan itu menjadi sesuatu yang bersifat laten. Menyebut Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron adalah sekadar memberikan contoh aktual dari kekeliruan memahami Islam. Selain mereka, masih banyak orang yang memendam kekeliruan itu secara kuat dan potensial.

Saya pernah melihat seorang anak yang masih duduk di bangku SD memakai kaos yg menunjukkan afiliasinya kepada oraganisasi Islam tertentu. Kaos yang ia pakai tampak begitu pas dengan ukuran tubuhnya yang masih kecil. Kaos itu jelas bukan untuk orang dewasa. Yang mencengangkan pada kaos itu tertulis kalimat “Mujahid Muda”. Bisa dipastikan bahwa anak itu tidak mengerti maksud dari kalimat termaktub. Kalimat itu adalah “doktrin”, “agitasi”, “sparasi”, “ekslusi” yang dalam sejarah sering berujung pada genosida. Saya hanya bisa marah dan kecewa dalam hati melihat kalimat itu.

Dalam hadis di atas Nabi Muhammad dengan tegas mengoreksi pemahaman sang sahabat yang keliru. Nabi Muhammad ingin mengatakan kepadanya (tentu kepada kita juga) bahwa untuk menggapai kemuliaan di hadapan Allah ada banyak cara yang mudah, sederhana, dan dekat dengan kehidupan kita. Saking dekatnya, kita sudah lama melakukannya. Mencari rezki untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah aktivitas mulia di hadapan Allah. Setiap pagi pergi ke kantor, pasar, terminal, dan lain sebagainya adalah aktivitas mulia di hadapan Allah.

Sang suami yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya adalah mulia di hadapan Allah. Begitu pula dengan sang istri. Sang anak yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan orangtuanya adalah mulia di hadapan Allah. Bahkan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri pun kemuliaan di hadapan Allah. Mengapa? Jika saya tidak berusaha memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri, maka saya akan menjadi beban orang lain (bisa saudara, keluarga, atau tetangga). Orang lain akan terusik dan terganggu karena saya tidak mampu membiayai diri sendiri. Keterusikan seperti ini akan menyeret kita pada kondisi pertentangan dan konflik yang merusak kedamaian keluarga dan masyarakat.

Terakhir, saya ingin menekankan dan mengajak orang untuk melihat hal-hal positif dan mudah dalam Islam. Allah tidak pernah menuntut hamba melakukan hal-hal negatif dan merusak dengan alasan apa pun. Kerja-kerja sederhana yang tiap hari kita lakukan adalah jalan luas menuju kepada-Nya. Dia selalu bersama kita selama kita tidak menyakiti siapa pun dan dan tidak merugikan seorang pun. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar: