Jumat, 01 Agustus 2008

Hadis Kemanusiaan

Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Apa yang dimaksud dengan orang yang bangkrut (al-muflis)?”

Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang hartanya ludes.”

Kata Rasulullah, “Sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pernah mencaci orang lain, mengambil harta orang lain, melukai orang lain, dan menyakiti orang lain. Maka, pahala (shalat, puasa, dan zakat [ibadah]) yang ia dapatkan akan diserahkan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika pahalanya habis (untuk membayar dosa-dosa sosial yang pernah ia lakukan) maka dosa orang-orang itu akan diambil kemudian dibebankan kepadanya hingga ia tersungkur ke dalam neraka!” (HR. Muslim)

Dalam hadis ini Rasulullah menjelaskan makna al-muflis (orang yang bangkrut) dengan metode bertanya. Dalam dunia pendidikan, metode ini diyakini memiliki kekuatan tersendiri dalam menanamkan pemahaman kepada peserta didik. Ada yang ingin ditegaskan oleh Rasulullah untuk dipahami oleh para sahabatnya hingga ia memilih pola pembelajaran yang dimulai dengan pertanyaan.

Teks hadis itu keluar mengiringi sebuah konteks yang ada. Konteks keluarnya hadis ini adalah kondisi yang terjangkit oleh indikasi “tidak sehat” yang mungkin ada dalam jiwa dan pikiran masyarakat. Atau, sebagai upaya antisipasi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman mereka terhadap ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Kadang kala saya terecengang-cengang membaca hadis-hadis tertentu karena menangkap sesuatu yang sangat dalam dan sangat modern karena mengandung semangat humanisme yang tak tergambarkan pada masanya. Ketercengangan saya mirip dengan pujian seorang sosiolog Amerika, Robret N Bella, yang dalam bukunya Beyond Belief (1976) mengatakan bahwa Konstitusi (Piagam) Madinah yang dibuat oleh Muhammad terlalu modern bagi zamannya.

Mengapa Rasulullah melontarkan pertanyaan itu? Tersirat sangat dalam bahwa hadis itu mengandung semangat menggeser paradigma masyarakat yang dihadapi oleh Rasulullah ketika itu. Pergeseran paradigma (paradigm shift) yang dimaksud adalah menyadarkan masyarakat agar tidak terjerumus pada semangat materialisme dalam kehidupan. Yang ditanyakan oleh Rasulullah adalah sesuatu yang sangat dekat dengan paradigma materialisme: orang yang bangkrut. Orang yang bangkrut akan selalu diandaikan sebagai orang yang gagal dalam mengembangkan bisnis atau perdagangan. Orang yang bukan saja tidak mendapatkan untung, tapi juga kehilangan modal. Dalam konteks ini, jawaban para sahabat sama sekali tidak keliru.

Tanpa mengatakan kekeliruan jawaban para sahabat, Rasulullah langsung memberikan penjelasan lain tentang makna orang yang bangkrut. Dalam penjelasan ini ia menghentakkan kesadaran mereka bahwa yang dimaksud orang yang bangkrut adalah orang yang kehilangan pahalanya akibat kezaliman yang ia lakukan. Orang tersebut telah mendapatkan pahala dari ibadah-ibadah yang ia lakukan, baik shalat, puasa, dan zakat. Namun, karena sering melakukan kezaliman terhadap orang lain maka ia harus menanggung akibat yang sangat merugikan. Bukan hanya itu, ia bahkan harus menanggung dosa-dosa yang diambilkan dari orang-orang yang pernah ia zalimi karena pahalanya sudah tidak cukup untuk menutup kezaliman yang ia lakukan.

Shalat, puasa, dan zakat yang disebut dalam hadis adalah simbol dari ibadah mahdhah (murni). Islam memang sangat menekankan hal ini. Ayat dan hadis terlalu banyak yang menyebutkannya dan menunjukkan konsekwensi bagi orang yang melakukannya dan orang yang meninggalkannya. Orang yang mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain akan mendapatkan pahala dari Allah. Orang yang meninggalkan itu semua akan mendapatkan siksa dari-Nya. Berdasarkan bukti-bukti tekstual yang ada maka shalat, puasa, dan zakat memiliki hukum wajib untuk dikerjakan. Dalam disiplin ilmu ushul fikih, tiga hal ini masuk dalam kategori ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah (sesuatu yang status hukumnya sudah diketahui secara pasti dalam agama).

Motivasi hukum ini kemudian mendorong umat Islam untuk melakukannya dan takut meninggalkannya. Mereka menyadari bahwa kewajiban melakukan itu semua bersumber dari Tuhan. Jika mereka tidak melakukan, maka Tuhan akan murka dan menyiksa. Jika mereka melakukan, maka Tuhan akan senang dan memberikan pahala kepada mereka. Logika transaksional-fertikal seperti inilah yang memengaruhi pola pikir sebagian muslim dalam menjalankan ajaran agama.

Logika transaksional-fertikal dalam pribadi seorang hamba ketika berhadapan dengan Tuhan melahirkan semangat egoisme. Satu ideologi yang tidak pernah berpikir untuk orang lain. Apa pun yang dilakukan harus menguntungkan diri sendiri. Tanpa disadari, ketika seorang hamba menyapa Tuhan dengan logika transaksional-fertikal ini berarti ia sedang memposisikan (mempersepsikan) Tuhan sebagai seorang raja yang menakutkan. Ia akan memberikan hadiah besar kepada orang yang tunduk dan patuh kepadanya dan akan menyiksa orang yang tidak tunduk dan tidak patuh kepadanya. Raja seperti ini tidak akan pernah peduli pada kebaikan dan kejahatan yang ditujukan kepada selain dirinya. Dia hanya menilai segala sesuatu yang hanya ditujukan kepadanya.

Dalam dunia kerja, seorang atasan akan mengalami kerugian yang amat besar jika memiliki anak buah yang bermental transaksional-fertikal dalam berinteraksi dengan dirinya. Anak buah macam ini akan menerapkan prinsip “asal bapak senang (ABS)” ketika berhadapan dengan atasan. Orang seperti ini dapat dipastikan melakukan tindak-tanduk yang merugikan secara horisontal. Ia tidak peduli terhadap hubungan horisontal karena ia hanya berpikir mencari keuntungan fertikal yang hanya kembali kepada dirinya sendiri. Lambat laun, besar atau kecil, perusahaan (organisasi) akan mengalami kerugian karena sosok manusia seperti ini. Orang seperti inilah yang kita kenal dengan istilah “penjilat”.

Mungkinkah menjilat pada Tuhan? Mungkin sekali! Akan tetapi Tuhan bukan manusia. Tuhan tidak pernah alpa dari segala tindakan yang dilakukan oleh hamba. Boleh jadi seorang hamba berpikir menjilat Tuhan dengan melakukan perintah-Nya berdasarkan logika transaksional-fertikal. Tapi logika itu sama sekali tidak ngaruh bagi-Nya. “Kebaikan (ibadah) apa pun yang engkau lakukan untuk-Ku tidak akan memiliki nilai di hadapan-Ku jika interaksi sosialmu tidak baik terhadap sesama.” Begitu kira-kira firman Tuhan kepada hamba yang menjilat-Nya.

Ibadah (agama) yang diajarkan oleh Allah kepada manusia sejatinya untuk kebaikan manusia, bukan untuk Tuhan. Kita yakin bahwa Tuhan mahakaya dan mahakuasa. Ibadah yang kita lakukan tidak menambah kekayaan-Nya dan maksiat yang kita lakukan pun tidak mengurangi kekayaan-Nya. Keyakinan sederhana ini memiliki dampak sosial yang luar biasa. Sayang, kita sering melupakannya.

Salah satu misi Muhammad sebagai seorang Rasul adalah mengubah bentuk ibadah dan keyakinan masyarakat Mekah. Ketika itu, sebagaimana kita tahu, mereka menyembah berhala-berhala. Apa yang salah dari para penyembah berhala? Rugikah Tuhan karena mereka menyembah berhala? Sama sekali tidak. Lalu mengapa Tuhan memerintahkan Rasulullah mengubah keyakinan mereka? Ada pelecehan kemanusiaan dalam penyembahan terhadap berhala. Manusia adalah makhluk paling mulia, mengapa harus menyembah sesuatu yang lebih rendah dari dirinya? Secara sosiologis penyembahan berhala mengandung penindasan para kapitalis zaman itu terhadap masyarakat dan melahirkan kultur feodalistik yang tidak sehat.

Islam datang menebarkan pesan tauhid. Berhala-berhala itu bukan Tuhan. Tuhan adalah esa, gaib, ikonoklasme, dan tak mengenal kasta. Di hadapan Tuhan semua manusia setara. Islam datang melabrak konsepsi sosial yang melingkupi kegiatan penyembahan berhala. Ujung-ujungnya Islam ingin mempertegas kemanusiaan. Inilah gagasan yang teramat modern di jamannya. Maka, ketegangan dan konflik antara primitivitas dan modernitas tidak bisa dihindari.

Gagasan kemanusiaan (humanisme) terkandung begitu tegas dalam hadis di atas. Rasulullah mengeritik orang-orang yang terperangkap pada logika transaksional-fertikal dalam berhubungan dengan Tuhan. Orang-orang seperti ini cenderung mengabaikan hubungan kemanusiaan. Ada kecenderungan menganggap manusia tidak penting ketika ibadah-ibadah sudah ditunaikan. Saya malah berpikir bahwa saat ini banyak orang yang mengaku menyembah Allah, tapi sikap sosial mereka tidak jauh berbeda dengan para penyembah berhala. Bahkan, ada orang yang menyakiti manusia dengan dalih membela Tuhan ... Tuhan telah diberhalakan!

Sehebat apa pun perilaku ibadah seseorang tidak akan ada artinya di hadapan Tuhan jika ia sering menyakiti orang lain. Tuhan sangat menghargai kemanusiaan. Inilah inti pesan yang ada dalam hadis di atas. Inilah yang saya maksud sebagai sesuatu yang sangat modern: menjujung tinggi nilai-nilai humanisme yang untuk memahaminya kita perlu terus belajar. Sebab, humanisme bukan dogma. Ia sebentuk temuan intelektual dan spiritual yang membutuhkan waktu cukup panjang.

Terakhir, pasca hari raya Idul Fitri kita sering mengadakan acara Halal bi Halal. Kegiatan ini hanya ada di Indonesia. Inilah tradisi muslim Indonesia karena Halal bi Halal tidak dikenal oleh masyarakat muslim selain muslim Indonesia. Nah, hadis di atas sangat layak dijadikan landasan perlunya menciptakan tradisi Halal bi Halal yang makna sederhananya adalah saling memaafkan. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar: