Kamis, 07 Agustus 2008

Kyai Jembatan

Sesudah nyantri 25 tahun dan diajari ngaji dan ngaji melulu, sang Kyai berkata kepadanya, " Sudahlah, sekarang kamu pulang ke desamu dan bikin pesantren "

Lelaki ndeso itu kaget ..." Lho ! bikin pesantren gimana ? Saya ndak bisa apa-apa", katanya.

Bikin pesantren itu kan perlu ilmu agama yang mumpuni, perlu modal, methoda dan kualitas iman yang prima.
"Pokoknya pulang dah, bikin pesantren ", perintah sang kiayi.
Ia pulang, dan tak bikin apa-apa. Bengong saja, di rumahnya yang buruk berlantai tanah, kerja di sawah dan di kebun.

Setahun kemudian ia memperoleh warisan hampir 10 juta rupiah. Habis dalam waktu beberapa hari saja. Padahal di rumahnya tak ada perubahan apa-apa. Orang sedesa bingung, untuk apa saja itu duwit ?

Ternyata ada seorang yang sedang pailit besar, dan si 'ndeso' itu memberikan seluruh jutaan uangnya untuk menolong Pak Pailit. Ia sendiri tetap melarat.
Pak Pailit inilah yang pertama-tama melihat lelaki itu sebagai seorang yang punya watak dan mutu Kiyai, ia berkata kepada setiap anak muda, " Bergurulah kesana ".

Mereka pun berdatangan kesana untuk nyantri. " Nyantri gimana ? Saya bukan Kiai.

Saya tak bisa apa-apa ", jawab sang Ndeso. Tapi anak-anak muda itu 'ngeyel' mau ikut dia. "Baiklah", ia berkata akhirnya.
" Ikutlah saya kerja di sawah, mengerjakan kebun, memperbaiki jembatan, bikin usaha, tingkatkan ketrampilan, sambil sholat bareng-bareng. "

Dalam waktu tak lebih dari tiga tahun dusun itu berkembang makmur.
Nge 'baldah thayyibah', nge'qoryah thayyibah'. Para santri tak pernah masuk kelas. Kelas mereka adalah sawah, kebun, desa, dan disitulah sang Kiai Jembatan kasih 'pelajaran', sambil rumahnya tetep berlantai tanah.
(Emha Ainun Nadjib/Secangkir kopi Jon Pakir/Mizan/ PmBNetDok)

Tidak ada komentar: