Kamis, 31 Juli 2008

Menulis dengan Cinta

Beberapa Hal tentang Menulis dengan Baik dan Sukses

Menulis selalu berkaitan dengan dua hal: bentuk dan isi. Secara bentuk ia harus “menarik”, secara isi ia hendaknya “mengandung sesuatu yang mencerahkan”­­­—walaupun tentu saja dua hal ini bisa ditafsirkan amat luas. Pendeknya, tulisan yang baik (entah berupa fiksi maupun non fiksi: cerpen, novel, esai, artikel, makalah, surat cinta, laporan jurnalistik, atau puisi) hendaknya bukan saja menarik dibaca, tetapi juga mengandung kedalaman sehingga berpotensi “memberi sesuatu” kepada para pembacanya.

Lalu bagaimana agar bisa menulis dengan baik?

Untuk bisa menulis dengan baik dan memiliki kedalaman, seorang penulis hendaknya menulis dengan semacam “rasa cinta”—gairah dan rasa senang dalam menulis dan berkarya.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis dan proses kepenulisan:

  • Seorang penulis harus memiliki kecintaan terhadap dunia tulis menulis dengan segala pernak-perniknya. Jangan menulis karena terpaksa atau karena hanya ingin coba-coba. Sesuatu yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh alias setengah-setengah tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Tanya pada hati kita, apa sebetulnya niat kita menulis. Menulislah dengan cinta.

  • Seorang penulis harus mau banyak membaca. Bacalah bacaan-bacaan yang baik untuk memperkaya gizi kreatif kita. Output pasti sebanding dengan input.

  • Seorang penulis harus menguasai kaidah-kaidah dasar berbahasa dan tata cara penulisan: bagaimana menyusun kalimat yang jelas, bagaimana menulis kalimat yang efektif, bagaimana penulisan kata dan tanda baca yang benar.v Pelajari dan kuasai teknik-teknik menulis, lalu latihlah keterampilan menulis tanpa kenal lelah dan pantang putus asa (misal dalam menulis cerpen: menentukan pokok gagasan, membangun kerangka, penokohan, alur cerita, membuat lead, konflik, memutuskan ending, show it, don’t tell it).

  • Mulailah menulis sekarang juga, jangan ditunda-tunda atau mencari-cari alasan hanya untuk menutupi kelemahan kita sendiri. Jangan salahkan ilham yang tak kunjung datang.

.………….

Jangan Berhenti Menulis

Menulis adalah sebuah kerja kreatif yang bersifat individual. Seseorang yang berniat menjadi penulis harus siap dengan segala proses berliku yang menyertainya. Selain itu, terlepas dari persoalan publikasi karya dan puja-puji khalayak, sesungguhnya tugas pribadi seorang penulis adalah terus bersetia menulis, berani bergelut dengan segala prosesnya, serta tak letih menjelajahi berbagaikemungkinan demi mencapai hasil terbaik.

Bertentangan dengan orang-orang berpandangan sempit yang menganggap bahwa tulisan kreatif (cerpen, novel atau puisi) hanyalah sesuatu yang tidak serius dan hanya buah khayalan saja, bagi saya karya tulis, karya sastra, adalah sesuatu yang berharga—sama-sama berharganya dengan cabang-cabang kebudayaan lainnya. Sebuah tulisan yang baik adalah karya seni yang hanya bisa tercipta dari kecerdasan pikiran dan kepekaan hati. Ia memiliki daya tarik, sekaligus berpotensi memperkaya batin para pembacanya.

Seperti pernah dikatakan pengarang terkemuka kita Pramoedya Ananta Toer suatu kali, teruslah menulis, tak peduli apakah tulisan kita ada yang mau mempublikasikan atau tidak. Yakinlah, suatu hari karya itu akan ada gunanya. Keberhasilan adalah buah kerja keras, bukan karena keberuntungan atau nasib baik.

Anton Kurnia, penulis cerpen dan esai, buku cerpennya berjudul Insomnia (2004). Ia juga menulis Ensiklopedia Sastra Dunia (2006). Kini ia bekerja sebagai Chief Acquistion Editor di Penerbit Serambi, Jakarta. Tulisan ini merupakan semacam makalah yang disampaikan dalam workshop bertema “Creating Future Writers” di Bandung, 22 Juni 2007.

100_5243.jpg 100_5089.jpg

Hadis Keempat

Nabi saw., “Kaum muslim sama-sama berhak dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR. Abû Dâud dan Ibn Mâjah)

Hadis di atas khas membicarakan kondisi kebutuhan pokok di wilayah gurun pasir (sahara) jaman dulu kala. Air, rumput, dan api adalah milik bersama masyarakat yang tinggal di gurun pasir. Benda-benda itu sangat mereka butuhkan dalam kehidupan. Air sangat jelas kegunaannya bagi makhluk hidup: minum, mandi, wudhu, dan lain-lain. Rumput untuk memenuhi kebutuhan hewan ternak yang menjadi andalan sumber mata pencarian masyarakat gurun pasir. Api berfungsi sebagai penerangan, memasak, merokok dan lain-lain.

Tiga benda yang disebut dalam hadis di atas adalah representasi dari sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Hadis ini menekankan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan tiga benda itu. Tiga benda itu tidak boleh dikuasai (monopoli) oleh sekelompok orang, sementara yang lain harus mengeluarkan sesuatu secara berlebihan untuk mendapatkannya karena kebijakan dari kelompok yang menguasasi.

Dalam konteks kekinian dan kedisinian, tiga benda dalam hadis di atas bisa dikembangkan menjadi hal-hal lain yang sangat dibutuhkan. Tanpanya, kehidupan ini akan terhambat, bahkan hancur berantakan. Bayangkan manusia hidup tanpa air, api, dan lain-lain. Pengembangan dari tiga benda di atas bisa berarti makanan pokok (kebutuhan fisiologis) BBM, listrik, pendidikan, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Semua hal yang disebutkan adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap orang, siapa pun, harus bisa mendapatkannya dengan mudah. Jika ada regulasi, maka harus bermuara pada keadilan dan pemerataan.

Air tidak boleh dimiliki oleh pihak tertentu untuk kemudian dikomersilkan. Di Indonesia, kita mungkin tidak sadar bahwa kecenderungan komersialisasi terhadap air sudah sedemikian rupa. Jika kehausan di tengah jalan, kita akan kesulitan mendapatkan air minum secara gratis. Harus ada sejumlah uang yang kita keluarkan untuk mendapatkan minuman yang kita inginkan. Air putih pun bisa didapatkan secara gratis jika kita membeli makanan di warung. Minta air putih yang sama sekali gratis sudah tidak mungkin dilakukan karena kita sudah terperangkap pada pola pikir komersialisasi air. Jauh lebih dahsyat dari sekadar komersialisasi air, sebenarnya kita sudah masuk dalam kubangan hidup yang sepi dari semangat kepedulian sosial.

Dulu, di masyarakat kita masih banyak rumah yang menyediakan air kendi di depannya. Air kendi itu disediakan untuk siapa saja yang lewat dan kehausan. Orang masih berpikir bahwa di antara orang yang jalan di depan rumah pasti ada yang kehausan. Untuk itu, mereka harus dibantu dengan menyediakan air minum secara gratis. Kini, orang sudah tidak pernah lagi menyediakan kepedulian pada mereka yang kehausan di jalan. Apalagi pada mereka yang kelaparan. Lebih jauh lagi pada mereka yang kesulitan mendapatkan hak pendidikan dan kesehatan.

Di masyarakat Mesir masih ada kepedulian pada orang yang haus di jalanan. Di pinggir jalan-jalan kota Kairo di sediakan sarana air minum gratis yang disebut tsalaga (kulkas tapi tidak sama dengan kulkas rumah). Tsalaga ini berbentuk kotak (ukuran 1 X 0,5 M) dan di bagian tengahnya ada dua kran yang mengucurkan air segar nan dingin. Saat musim panas, keberadaan tsalaga ini sangat membantu mereka yang kehausan di jalan. Siapa pun bisa mengambil air itu secara gratis: sopir taksi, sopir angkot, tukang angkut sampah, mahasiwa, pegawai negeri dan lain-lain. Artinya, orang kehausan di jalan, tidak punya uang sepeser pun, tetap bisa minum air segar dengan mudah dan tanpa meminta. Air benar-benar menjadi milik bersama yang gratis.

Tidak berlebihan jika air dijadikan standar kepedulian sosial masyarakat. Jika pada suatu masyarakat air sudah dikomersialisasikan sedemikian rupa, maka banyak hal lain yang diperlakukan secara sama hingga masyarakat kehilangan hak-hak dasar dalam hidupnya. Kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja akan menjadi barang mahal yang sulit digapai. Bayangkan, adakah masyarakat seperti itu? Indonesia!

Selain air, dalam hadis di atas, yang menjadi milik bersama adalah api dan rumput. Rumput jelas sudah tidak relevan untuk dielaborasi dalam konteks kekinian. Mari kita bicara soal api. Yang dimaksud api dalam hadis di atas adalah sumber api yang kini kita kenal dengan istilah BBM (Bahan Bakar Minyak).

Saya tidak sedang berapologi jika saya katakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan ajaran baik berkenaan dengan pengelolaan BBM. Dalam hadis di atas dikatakan secara tegas bahwa BBM adalah milik masyarakat, milik rakyat, milik bangsa. Tidak ada sekelompok orang yang boleh menguasai (monopoli) kebijakan BBM ini, baik menyangkut ekspor-impor, ketentuan harga, dan distribusi. Pemerintah harus selalu berpikir demi kepentingan rakyat dalam membuat berbagai regulasi BBM. Dalam konteks ini, wajar rakyat menolak kenaikan harga BBM yang baru-baru ini terjadi.

Dengan alasan apa pun, kenaikan harga BBM terakhir ini adalah bentuk ketidakpedulian pemerintah pada rakyat. Kenaikan harga BBM dunia tidak bisa dijadikan alasan menaikkan harga BBM dalam negeri karena harga BBM tidak bisa diserahkan pada logika ekonomi pasar. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang tidak perlu dipengaruhi oleh perkembangan harga BBM internasional.

Banyak hal-hal yang tidak dijelaskan secara transparan seputar kebijakan harga BBM. Dengan menggunaka logika sederhana, pemerintah mencabut subsidi BMM yang jumlahnya Rp. 34 Trilyun (kalau salah tolong dibetulkan). Kemudian pemerintah mengucurkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menghabiskan dana sekitar Rp. 20 Trilyun (kalo salah tolong dibetulkan lagi). Sisanya Rp. 14 Triyun. Berapa dana yang digunakan pemerintah untuk “membeli” suara dari parpol-parpol agar menyetujui kebijakan kenaikan harga BBM (cabut subsidi)? Untuk yang satu ini memang tidak akan pernah ditemukan laporan yang jelas.

Dengan kata lain, uang negara yang didapat dari pencabutan subsidi BBM sama sekali tidak ada artinya bagi stabilitas APBN. Lantas mengapa subsidi BBM tetap dicabut? Perlu data serius untuk menjawabnya. Konon, ada orang-orang tertentu yang membuat pemerintah tidak bisa tidak menaikkan harga BBM karena itu menyangkut “keuntung rutin” mereka. Mereka inilah yang disebut “mafia BBM”.

Intinya, pesan hadis di atas adalah pemerataan dan keadilan bagi masyarakat dalam mendapatkan hak-hak dasar hidupnya. Pemerintah harus memerhatikan hak-hak dasar masyarakat: air, BBM, listrik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Jika dalam semua hal itu pemerintah tidak mampu memberikan keadilan dan pemerataan, pasti ada yang tidak beres di negeri ini. (Taufik Damas)

Selasa, 29 Juli 2008

Hadis Ketiga

Suatu hari Rasulullah duduk bersama para sahabat, lalu ada orang yang berjalan dengan semangat. Salah seorang sahabat komentar, “Andai saja semangat itu terlihat dalam jihad di jalan Allah.”

Mendengar hal itu beliau berkata, “Jika ia keluar untuk anaknya yang masih kecil maka hal itu sudah termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk orangtuanya yang sudah tua maka hal itu termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk dirinya guna menjaga kehormatan maka termasuk di jalan Allah. Namun, jika ia keluar karena riya dan menyombongkan diri maka ia berada di jalan setan.” (HR. Al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîr 19/129)

Amrozi, Iman Samudra, Ali Gufron dan banyak orang yang mungkin belum pernah membaca atau mendengar hadis ini. Kalaupun mereka sudah membaca atau mendengarnya, mungkin hadis itu tidak efektif bagi mereka hanya karena Rasulullah sudah tiada. Padahal, pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah harus dilihat dan dirasakan sebagai spirit hidup bagi siapa pun yang mendengar dan membacanya. Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan yang dimaksudkan menjadi pembimbing manusia di setiap zaman. Ia masih hidup atau telah tiada, sama saja. Yang terpenting darinya adalah pesan-pesan yang ia sampaikan kepada manusia.

Dalam hadis di atas Rasulullah jelas mengoreksi kesalahan seorang sahabat dalam memahami “ruang-juang” kehidupan yang memiliki nilai mulia dalam pandangan Allah. Sang sahabat itu begitu sempit memahami ruang-juang yang mulia dalam pandangan Allah. Ia hanya melihatnya ada pada aktivitas “jihad” di medan perang. Ketika ia melihat orang yang berjalan dengan semangat, maka imajinasinya begitu mudah menghampiri panorama peperangan. Untung saja ketika itu masih ada Rasulullah hingga koreksinya terhadap pemahaman keliru sang sahabat menjadi efektif.

Sang sahabat pasti langsung menyadari kekeliruannya karena ia mendapatkan koreksi dari manusia yang “tidak bicara berdasarkan keinginannya, melainkan dari Tuhannya.” Dia akan menyadari kekeliruannya, kemudian cakrawala pandangannya menjadi luas seluas cinta dan kasih Allah terhadap makhluknya.

Orang yang memandang ruang juang dalam hidup seperti sahabat dalam hadis di atas cukup bejibun. Figur sahabat dalam hadis itu menunjukkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Jika kita gunakan logika kemungkinan, di zaman sekarang ini tentu jumlah orang seperti sahabat itu jauh lebih banyak. Pada masa Rasulullah masih hidup saja ada orang yang keliru memahami “ruang juang kemuliaan”, apa lagi di jaman sekarang ini. Bedanya hanya terletak pada efektifitas koreksi karena ada dan tiadanya Rasulullah.

Rasulullah sudah tiada sejak berabad-abad yang lalu. Dalam konteks kematian, Rasulullah adalah manusia biasa yang menerima takdir kematian seperti manusia lainnya. Sebagian orang lantas tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan yang pernah ia sampaikan. Pesan kemanusiaan itu seolah hilang bersama hilangnya Rasulullah dari panggung dunia. Mereka tidak mampu menghidupkan Rasulullah kembali dalam hati dan jiwa mereka. Ironinya, mereka tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan itu justru di zaman yang sangat membutuhkan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang yang saya sebutkan di atas adalah contoh paling aktual dari manusia yang tidak mampu menangkap dan menebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah. Bagi mereka hanya ada satu jalan untuk menggapai kemuliaan agama, yaitu perang atau menebarkan teror.

Saya tidak ingin masuk dalam kontroversi makna jihad. Dalam hadis di atas, jihad yang dimaksud oleh sang sahabat adalah perang yang konsekwensinya mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa. Dalam sejarah, perang pernah dilakukan oleh masyarakat mana pun, tanpa kecuali. Dan, secara umum, masyarakat dunia saat ini telah mengubur kecenderngan itu dalam-dalam. Perang fisik, cucuran darah, dan hilangnya nyawa adalah bagian dari sejarah yang tidak boleh terulang. Dalam konteks kekinian perang adalah anomali, dan anomali itu memalukan. Hidup harus diisi dengan aktivitas dan sikap keadaban karena begitulah kecenderungan manusia normal yang selalu terbimbing oleh akal sehatnya.

Di atas telah saya sebutkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Kerentanan inilah yang menyebabkan kekeliruan itu menjadi sesuatu yang bersifat laten. Menyebut Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron adalah sekadar memberikan contoh aktual dari kekeliruan memahami Islam. Selain mereka, masih banyak orang yang memendam kekeliruan itu secara kuat dan potensial.

Saya pernah melihat seorang anak yang masih duduk di bangku SD memakai kaos yg menunjukkan afiliasinya kepada oraganisasi Islam tertentu. Kaos yang ia pakai tampak begitu pas dengan ukuran tubuhnya yang masih kecil. Kaos itu jelas bukan untuk orang dewasa. Yang mencengangkan pada kaos itu tertulis kalimat “Mujahid Muda”. Bisa dipastikan bahwa anak itu tidak mengerti maksud dari kalimat termaktub. Kalimat itu adalah “doktrin”, “agitasi”, “sparasi”, “ekslusi” yang dalam sejarah sering berujung pada genosida. Saya hanya bisa marah dan kecewa dalam hati melihat kalimat itu.

Dalam hadis di atas Nabi Muhammad dengan tegas mengoreksi pemahaman sang sahabat yang keliru. Nabi Muhammad ingin mengatakan kepadanya (tentu kepada kita juga) bahwa untuk menggapai kemuliaan di hadapan Allah ada banyak cara yang mudah, sederhana, dan dekat dengan kehidupan kita. Saking dekatnya, kita sudah lama melakukannya. Mencari rezki untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah aktivitas mulia di hadapan Allah. Setiap pagi pergi ke kantor, pasar, terminal, dan lain sebagainya adalah aktivitas mulia di hadapan Allah.

Sang suami yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya adalah mulia di hadapan Allah. Begitu pula dengan sang istri. Sang anak yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan orangtuanya adalah mulia di hadapan Allah. Bahkan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri pun kemuliaan di hadapan Allah. Mengapa? Jika saya tidak berusaha memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri, maka saya akan menjadi beban orang lain (bisa saudara, keluarga, atau tetangga). Orang lain akan terusik dan terganggu karena saya tidak mampu membiayai diri sendiri. Keterusikan seperti ini akan menyeret kita pada kondisi pertentangan dan konflik yang merusak kedamaian keluarga dan masyarakat.

Terakhir, saya ingin menekankan dan mengajak orang untuk melihat hal-hal positif dan mudah dalam Islam. Allah tidak pernah menuntut hamba melakukan hal-hal negatif dan merusak dengan alasan apa pun. Kerja-kerja sederhana yang tiap hari kita lakukan adalah jalan luas menuju kepada-Nya. Dia selalu bersama kita selama kita tidak menyakiti siapa pun dan dan tidak merugikan seorang pun. (Taufik Damas)

Senin, 28 Juli 2008

Hadis Kedua

Suatu hari Rasulullah masuk masjid dan menemukan seorang dari kelompok Anshar sedang berdiam diri di dalamnya. Orang itu bernama Abu Umamah. Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau ada di sini, padahal sekarang bukan waktu shalat?”

Abu Umamah menjawab, “Aku sedang sedih dan gundah karena banyak utang.”

Rasulullah, “Maukah aku ajarkan beberapa kalimat (doa) yang jika engkau ucapkan, Allah akan menghapuskan kesedihanmu dan melunasi utang-utangmu?”

Abu Umamah, “Tentu mau, wahai Rasulullah.”

Rasululllah, “Setiap pagi dan sore, ucapkanlah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

‘Ya Allah, aku berlinding kepada-Mu dari perasan sedih dan gundah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan bakhil, serta aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang lain (semacam debt collector).’”

Abu Umamah berkata, “Aku lantas melakukan apa yang diajarkan Rasulullah kepadaku, kemudian Allah menghapus kesedihan dan kegundahan dari hatiku serta melunasi utang-utangku.” (HR. Abu Daud. Banyak perawi lain meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun substansinya sama).

“Luar biasa!” Itulah kata pertama yang terucap dalam hati saya ketika dalam hadis ini saya menemukan sesuatu yang sangat rasional dan relevan bagi kehidupan kita. Sebagian orang memandang hadis ini lebih pada aspek doa dengan berbagai persepsi (yang kadang keliru).

Hadis-hadis macam ini sering menjadi sumber kesalahpahaman orang dalam memahami arti dan fungsi doa dalam kehidupan. Banyak orang kemudian berpikir dan berkeyakinan bahwa doa yang ada dalam hadis di atas (dan doa lainnya) akan dengan sendirinya menyelesaikan problem yang dihadapi oleh seseorang ketika diucapkan. Lantas, apa bedanya dengan jampi-jampi dari seorang dukun?

Ada juga orang yang berpandangan ambigu: satu sisi dia percaya bahwa doa akan menyelesaikan problem yang dihadapi, di sisi lain dia juga percaya bahwa untuk menyelesaikan problem orang harus berusaha sekuat tenaga. Ambiguitas (sikap mendua) macam ini begitu menyebar dalam pikiran mempengaruhi ambang bawah sadar, dan kita cenderung menghindar menyelesaikannya secara filosofis. Pertanyaan paling mendasar dalam hal ini adalah jika kita percaya bahwa doa akan menyelesaikan problem yang kita hadapi, mengapa kita harus berusaha? Atau, jika kita percaya bahwa usahalah yang menyelesaikan problem, mengapa harus berdoa?

Meng-iya-kan pertanyan pertama (doa menyelesaikan berbagai problem) melahirkan fatalisme (jabariyah), sedang meng-iya-kan jawaban kedua (usaha tak perlu doa) melahirkan materialisme-sekularistik (mâdiyah-elmaniyah). Fatalisme adalah pandangan atau keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah. Manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya. Segala sesuatu sudah digariskan oleh Allah hingga usaha manusia tidak memiliki pengaruh sedikit pun dalam menentukan apa pun. Sesuatu yang sering dikemukakan untuk memperkuat pandangan ini adalah contoh-contoh kongkret dalam kehidupan yang diperlakukan secara diametrical opposite (bertentangan secara berhadap-hadapan). Si Polan sangat gigih dalam berusaha. Apa pun ia kerjakan untuk mendapatkan rezeki. Tetapi ia tetap hidup dalam keterbatasan ekonomi alias tidak pernah jadi orang kaya. Kasus Polan kemudian dihadapkan dan dipertentangkan dengan kasus Sugali yang hanya ongkang-ongkang kaki setiap hari, tapi bisa mendapatkan kekayaan yang berlimpah.

Contoh Polan dan Sugali diperlakukan secara diametrical opposite karena orang cenderung lupa dan mengabaikan bahwa kasus Polan dan Sugali tidak bisa diposisikan seperti itu. Karena, di samping keduanya ada contoh lain yang lebih rasional: Ong Hok Ham giat kerja dan usaha kemudian mendapatkan kekayaannya karena usahanya yang giat itu. Ada juga Sudrun yang pemalas dan konsekwen menjadi tetap miskin. Jadi, menggunakan contoh Polan dan Sugali yang diposisikan secara diametrical opposite tidak cukup kuat dijadikan bukti untuk membenarkan keyakinan fatalisme karena di dalamnya terdapat fallacy (kesalahan berpikir).

Selanjutanya adalah materialisme-sekularistik (mâdiyah-elmaniyah) yang sering dianggap sebagai dampak negatif dari pemikiran “anti-doa”. Stigmatisasi (tuduhan negatif) terhadap paham materialisme-sekularistik terjadi karena paham ini selalu dikaitkan dengan kesadaran “anti Tuhan”: tidak berdoa berarti tidak percaya pada kekuasan Tuhan atau mereduksi kekuasaan-Nya (?). Stigmatisasi semacam ini lahir karena semangat simplifikasi yang ada dalam doktrin-doktrin agama yang ditanamkan kepada kita. Itu sebabnya, teori evolusi darwinian menjadi bulan-bulanan agamawan karena dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya pemikiran yang menyingkirkan Tuhan dari kehidupan. Padahal tidak harus demikian, dan saya tidak ingin menjelaskannya di sini.

Kembali pada sesuatu yang luar biasa yang saya temukan dalam hadis di atas. Mari kita amati redaksi hadis di atas. Pertama, Abu Umamah diajarkan untuk memohon perlindungan dari kesedihan dan kegudahan (psikologis). Kedua ia diajarkan untuk memohon perlindungan dari kelemahan dan kemalasan (mental). Ketiga, ia diajarkan untuk memohon perlindungan dari sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial). Keempat, ia diajarkan untuk memohon perlindungan dari utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, yang menjadi sasaran pertama dan utama untuk diperbaiki dalam rangka mengubah kondisi sosial seseorang atau satu masyarakat adalah sesuatu yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan. Sedih dan gundah adalah kondisi kejiwaan negatif yang menjadi penghalang orang untuk bangkit melawan mental yang lemah dan malas. Orang yang sedang sedih dan gundah pasti memiliki sikap mental yang lemah dan malas. Sebaliknya, hati yang ceria akan mendorong orang untuk menjadi bermental kuat dan semangat.

Ketika suasana jiwa sudah ceria, mental menguat dan semangat, di hadapan kita ada lagi dinding penghalang menuju kebangkitan, yaitu sikap pengecut dan bakhil. Dalam dunia bisnis, sikap pengecut membuat orang tidak berani mengambil keputusan menerobos untuk mengembangkan bisnis. Banyak orang yang mengalami kesuksesan dalam bisnis karena ia berani melawan sikap pengecut yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, karena sikap pengecut orang menjadi kehilangan kesempatan baik yang ada di hadapannya. Ia menjadi sosok peragu yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Dalam politik, sikap seperti ini akan merugikan orang banyak.

Melawan sikap pengecut bukan berarti harus bertindak atau mengambil keputusan tanpa pertimbangan obyektif. Justru, sikap pengecut itu adalah ketidakberanian dalam bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan data-data obyektif yang mengharuskan seseorang segera bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan.

Jiwa ceria, mental kuat dan semangat, serta sikap berani harus dilengkapi dengan sikap murah hati (tidak bakhil). Setiap orang akan menyukai orang yang murah hati. Secara individual, orang yang murah hati sepintas lalu tampak sebagai orang yang mengurangi hak pribadinya. Jika saya memiliki uang Rp. 1.000.000, kemudian saya sedekahkan (murah hati) Rp. 100.000, maka hak pribadi saya menjadi berkurang tinggal Rp. 900.000. Akan tetapi, secara sosial saya mendapatkan hak-hak yang jauh lebih besar dari seratus ribu yang telah saya sedekahkan kepada orang lain. Hak-hak sosial itu bisa berarti penghormatan, ketundukan (naluriah), dan kehendak untuk setia dari orang lain kepada saya. Pribahasa Arab mengatakan, al-khayr yasta’bid al-nâs (Kebaikan akan memperbudak orang lain).

Ketika orang-orang di sekitar kita sudah memberikan rasa hormat dan kesetiaan pada kita, maka rencana apa pun yang kita inginkan untuk mereka kerjakan pasti akan dilaksanakan dengan baik. Sampai di sini, dalam dunia bisnis kita sudah berada di ambang kesuksesan. Namun, masih ada satu lagi yang menghalangi orang untuk sukses, yaitu lilitan utang dan tekanan orang lain. Dua hal ini berhubungan sangat erat dalam dunia bisnis. Jika saya dililit utang, saya akan ditekan oleh orang yang memberikan piutang kepada saya. Apa artinya perusahaan besar yang dibangun di atas lilitan utang?

Utang adalah hal biasa dalam dunia bisnis. Hampir tidak ada bisnis tanpa utang. Orang bahkan berlomba mengutang untuk membangun sebuah bisnis. Tetapi utang harus rasional. Hari ini saya berutang, dalam jangka waktu tertentu saya harus mampu mengembalikan utang itu kepada pemilik piutang. Pengembalian itu harus hasil dari uang pinjaman yang saya kelola. Itulah logika utang yang rasional.

Yang diajarkan oleh Nabi kepada Abu Umamah adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dayn). Lilitan utang adalah utang yang tidak rasional. Utang yang lebih besar dari kemampuan seseorang atau sebuah perusahaan untuk mengembalikannya. Ketika utang lebih besar dari kemampuan, maka utang itu akan melilit. Pihak yang memberikan piutang akan menagih dan mengejar dengan berbagai cara. Karena tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka meja hijau akan menjadi tempat yang tidak bisa dihindari, bahkan bisa berakhir di terali besi. Ujung-ujungnya, ia justru kembali menjadi manusia yang berjiwa sedih dan gundah.

Kesimpulannya, hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa syarat kesuksesan adalah jiwa yang ceria, mental yang kuat dan semangat, sikap berani dan murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Saya tidak melarang siapa pun memahami hadis di atas dengan pemahaman yang tidak sejalan dengan apa yang telah saya paparkan. Bisa jadi ada orang yang memahami hadis di atas laksana “mantra-mantra” untuk membebaskan diri dari lilitan utang. Jika itu diyakini, bukan tidak mungkin ia akan terbebas dari lilitan utang. Dalam psikologi ada terma yang menjelaskan hal ini secara rasional. Terma itu disebut dengan “efek placebo”: karena Anda yakin bahwa sesuatu akan mempengaruhi sesuatu yang lain, maka terjadilah apa yang Anda yakini. (Taufik Damas)

Rabu, 23 Juli 2008

Hadis Pertama


Nabi saw. bersabda, “Segala tindakan dipengaruhi oleh niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”

Hampir semua kitab hadis meletakkan hadis ini pada urutan pertama. Hadis ini selalu menjadi hadis nomor satu dalam penulisannya. Saya dapat memahami yang demikian itu karena hadis ini berbicara soal sesuatu yang selalu berada pada urutan pertama dalam setiap tindakan manusia: niat.

Dalam khazanah kitab-kitab fikih, kata “niat” dalam hadis ini sering ditekankan hanya pada aspek ibadah. Dalam ibadah, manusia harus meniatkan ibadahnya “hanya untuk Allah”. Jika tidak, maka ibadahnya tidak diterima. Semua muslim pasti menyadari hal ini. Hanya saja, setiap orang berbeda-beda dalam penghayatan tentang niat. Perbedaan penghayatan tentang niat ini memengaruhi sikap.

Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, jika ia menyadari betul bahwa puasanya karena dan hanya untuk Allah, maka sikap sinisnya terhadap orang yang tidak puasa menjadi tidak relevan. Jika saya berpuasa, saya tidak akan terganggu oleh seribu warung makan yang buka di siang hari sebab puasa saya karena dan hanya untuk Allah, bukan karena dan untuk yang lain.

Jika saya berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian saya sinis terhadap orang yang tidak puasa atau terhadap warung-warung yang buka pada siang hari, berarti penghayatan saya akan niat (karena dan hanya untuk Allah) kurang mendalam. Bisa jadi malah terkecoh. Uniknya, banyak orang puasa justru meminta hormat dari mereka yang tidak berpuasa. Puasa hanya sekadar contoh. Masalah ini bisa dikembang dalam ibadah-ibadah yang lain.

Tidak salah memahami pentingnya niat dalam ibadah mahdhah (murni). Namun, berhenti hanya sampai di situ adalah sikap reduktif (mengurangi). Karena, dalam hadis di atas tidak ada pembatasan bahwa niat hanya berlaku pada ibadah.

Sejatinya, niat sangat diperlukan dalam semua tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini, kata “niat” harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang modern, yaitu “komitmen”. Niat bukan sekadar ucapan “Saya niat ...”, tapi niat adalah komitmen seseorang sebelum melakukan apa yang akan ia kerjakan untuk menggapai apa yang inginkan.

Seorang penjual bakso, jika sejak awal ia tidak memiliki komitmen untuk menghabiskan dagangannya agar mencapai target omzet sekian rupiah, tentu dia akan berjualan dengan santai. Lambat laun ia akan mengalami kegegalan atau sulit untuk berkembang. Kegiatan menjual baksonya tidak akan pernah mengubah status ekonominya.

Beda dengan tukang bakso yang sejak awal memiliki komitmen bahwa dagangannya harus mendapatkan omzet sekian rupiah. Tukang bakso dengan komitmen, tentu lebih giat dalam memasarkan baksonya supaya mencapai target yang ia inginkan.

Kasus tukang bakso ini tentu bisa dikembangkan ke dalam berbagai ruang kehidupan yang kita jalani.

Niat atau komitmen adalah sahabat karib cita-cita. Tanpa komitmen, jangan harap orang akan menggapai cita-cita. (Taufik Damas)

Negara Kelima

Satu lagi Novel karya anak Bangsa yang cukup menarik, energik dan provokativ serta bikin penasaran ceritanya, ingin membaca sampai tuntas...tas...tas...
Novel yang kaya akan sejarah, serta saling berkaitan. Sang penulis ingin menyampaikan bahwa negara kita kaya akan sejarah, agar kita dapat belajar dari sejarah-sejarah masa lalu.

Sang Penulis (Es Ito) memberi judul "NEGARA KELIMA"
Serangkian aksi teror yang diduga digalang oleh Kelompok Patriotik Radikal (KePaRad) mengacaukan sejumlah situs pemerintah, sistem perbankan, dan sistem keamanan di beberapa pusat keramaian. Keinginan mereka dengan jelas dapat diketahui dari pesan yang mereka tinggalkan dalam setiap aksinya:
Bubarkan Indonesia
Bebaskan Nusantara

Bentuk Negara Kelima
Pembunuhan putri seorang perwira menengah Polda Metro Jaya menjadi titik awal untuk membongkar siapa KePaRad ini sebenarnya. Tapi tidak hanya itu yang terbongkar. Konspirasi di balik tembok lembaga kepolisian pun turut terancam dengan ditumbalkannya seorang inspektur bernama Timur Mangkuto. Pelarian sang inspektur menyajikan teka-teki tanpa akhir. Setiap kali misteri lama terbongkar, misteri baru bermula.

Seiring dengan itu, teka-teki mengenai Atlantis dan kaitannya dengan kejayaan Nusantara pada masa lalu secara perlahan ikut terkuak. Namun, benarkah Indonesia akan berakhir demi terbentuknya Negara Kelima?