Selasa, 09 September 2008

Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan


Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan

Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih 'revolusioner' radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti disebutkan al-Qur'an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan Ramadhan.

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau meng-engkau- kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.

Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.

Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap 'tidak' kepada isi pokok dunia yang berposisi 'ya' dalam substansi manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri- konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.

Sementara ibadah haji adalah puncak 'pesta pora' dan demonstrasi dari suatu sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai sekadar seolah-olah megah.

Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan siklikal, perjalanan yang 'menuju' dan 'kembali'nya searah.

Ihram adalah 'pelecehan' habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan, kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir kembali ke kemegahan-kemegahan dunia--tak lagi untuk disembahnya atau dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.
(Emha Ainun Nadjib/Paramadina/ 1996)

KISAH SEDIH DARI BALI


KISAH SEDIH DARI BALI

Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengerajin perak dari Gianyar, Bali. Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.

"Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa motif asli Bali seperti `patra punggal', `batun poh', dan beberapa motif lainnya juga dipatenkan" kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.

Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.

Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. "Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan satu desain pun," ujarnya hari ini.

Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan budaya di tanah air. Cerita ini menambah daftar budaya indonesia yang dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lag Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya.

LANGKAH KE DEPAN

Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di http://budaya-indonesia.org/ . Untuk dapat mencegah agar kejadian di atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu. Setidaknya ada 2 hal perlu kita secara sinergis, yaitu:

1. Mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik bantuan ide, tenaga maupun donasi) di bagian ini, harap menggubungi IACI di email: office@budaya-indonesia. org

2. Mendukung proses pendataan kekayaan budaya Indonesia. Perlindungan hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secara optimal. Jadi, jika temen-temen memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang budaya Indonesia, mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA INDONESIA, dengan alamat http://budaya-indonesia.org/ Jika Anda memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di email: office@budaya-indonesia.org

- Lucky Setiawan

nb: Mohon bantuanya untuk menyebarkan pesan ini ke email ke teman,
mailing-list, situs, atau blog, yang Anda miliki. Mari kita dukung upaya pelestarian budaya Indonesia secara online.

Senin, 08 September 2008

Allah dan Slang-Slang AC


Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh- an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****

Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Allah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Allah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu.. ."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Malam ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab Al-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawanny a juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Kalau memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(EAN/2000/ PmBNetDok)

Membeli Fitnah


BENARKAH ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian besar, sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang -- yang bahkan tak dikenalnya -- terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta- butanya. Atau, bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan. Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.

Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah Anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakikat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecil?

Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?

Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.

Ada anak-anak muda 'minta izin' -- anehnya -- kepada saya. "Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan bakar...!"

Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan, yang sesungguhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya penuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan pertemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.

Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shobri was- sholah -- sampai ada konteks dan sa'ah sejarah di mana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.

***
JIWA kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan-letusan kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'aga- ma' adalah kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menurut Allah.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah-fitnah besar dalam hidup saya, Insya Allah saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikit pun, melainkan kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah-fitnah itu. Saya bersedia membayar orang- orang yang memfitnah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.

Maka kalau saya merasa cemas, Insya Allah kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.

Pernahkah Anda bertanya kepada diri sendiri seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita.

Seberapa besar pulalah kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang- orang justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokrasi, moral, keberbudayaan dan keberadaan. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketenteraman? ***
(Emha Ainun Najib/2007/PmBNetDo k)

Kesaksian Sederhana Orang Biasa


Kesaksianku tentang dunia hanya bisa sederhana
Karena jenis dan standar kebahagiaanku memang sangat biasa-biasa saja

Kaki hidupku tidak meloncat menggapai langit
Tak ada yang kukejar hingga lari terbirit-birit

Tanganku tidak mengacungkan tinju ke angkasa
Sebab tak ada satu unsur apapun dalam kehidupan ini
yang membuatku kagum dan terpana

Kekuatanku tak akan menyentuh siapa-siapa
Karena aku tidak tertarik pada kemenangan atas manusia

Kubelanjakan tenagaku hanya sedikit saja
Sebab atas segala yang lemah hatiku tak berdaya

Kalaupun pikiranku mengembara sampai ke ruang hampa
Hatiku sudah lama selesai dan tak meminta apa-apa

Tak ada sekilaspun padaku mimpi menaklukkan dunia
Sebab dunia sangat murah harganya dan hanya beberapa
tetes keringat dari badanku yang kurelakan untuknya

Tak ada sedikitpun minatku terhadap kehebatan diri
karena jenis kelemahanku adalah kebiasaan
untuk mentertawakan diriku sendiri

Jika ada orang beramai-ramai tersesat menjunjungku
Volume kepalaku tidak membesar dan hatiku tetap bisa mengantuk

Jika mereka menemukan kebenaran sehingga menghinaku
Helai-helai buluku tidak berdiri bahkan kantukku bertambah lelap

Kebesaran dan kegagahan amat sangat aku remehkan
Dan tak akan pernah kukenakan sebagai pakaian

Apabila dunia menyangka aku mencintainya dan ingin mengawininya
Tentu karena ia tak tahu aku sudah mentalaknya sebelum pernah mencintainya

Barang siapa kegagahannya mendatangiku dan menggertak
Kusihir ia jadi katak
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok/ 2004)

Sudah Bukan Diriku


Kalau aku sudah bukan diriku
Akankah lahir anakku yang berasal dari dirinya
Kalau manusia sudah tak sepenuhnya manusia
Adakah cara agar penerusnya kembali manusia

Kalau aku sudah hilang
Karena diriku digantikan
Oleh diri seragam produksi massal
Yang mana dari nilai-nilai yang masih mungkin tertinggal

Bangsaku sudah bukan bangsaku
Bangsaku bukan bangsa yang tumbuh
dari dalam diri kebangsaannya
Bangsaku hanya bahan dasar alam
Sebagaimana batubara yang ditambang
Dicetak oleh industri globalisasi
Dijadikan plastik dan robot barang dagangan
Pemerintahku adalah anjing herder
Pikirannya dikendalikan oleh stick holder

Merahkah ini hijaukah itu
Baikkah ini burukkah itu
Ditentukan tidak berdasar nurani dan akalmu
Karena sudah ada paket makro untuk itu

Mana maju mana mundur
Apa yang mulia apa yang hina
Siapa Nabi siapa teroris
Bukan hak kemanusiaanmu untuk menentukan

Bumi mengecil seukuran bola golf
Diambil dipukul diambil dibuang atau dikeranjang- sampahkan
Bangsaku terdaftar sebagai pelacur unggul tergolek di ranjang
Disetubuhi kapan saja Mr. Global Stick Holder menghendaki

Sekujur badan disemprot parfum demokrasi
Dihibur dengan lagu dusta tentang hak asasi
Mata dipejamkan ditiup dengan hawa toleransi
Mulut dingangakan, siap dituangi sperma globalisasi
Tetapi bangsaku tak kehilangan dirinya
Karena generasi yang ini sejak lahir memang sudah bukan dirinya

Hujan turun terlalu deras
Hujan ludah dan air liur para raksasa
Manusia dan negara dipersatukan oleh banjir
Dunia menyempit, menjadi sebuah bendungan

Bendungan itu
Bernama globalisasi
Hujan turun terlalu deras
Banjir global masuk sampai ke kamar pribadi
Menelusup sampai ke ulu hati
Bahkan otak sampai terbungkus oleh kerak tahi besi

Di manakah, dalam banjir itu, manusiamu?

Tak ada kegelisahan apapun atas hilangnya diri
Tak ada ketakjuban atas punahnya nilai

Apakah wajah yang kau temukan di kaca itu
benar wajah manusia

Sebab pada semuanya yang lebih menonjol
adalah tanda-tanda kehewanan
Yang lebih rajin muncul
adalah indikator kebinatangan
politik keserakahan
mobilisasi pelampiasan
ekonomi keborosan
globalisasi pemusnahan kemanusiaan
peruntuhan nilai-nilai batin
seluruh permukaan bumi sedang dirancang
menjadi hamparan lapangan golf
di mana para juragan global dengan stik-stik mewah
membidik dan melempar bola-bola golf
yang terbuat dari kepala-kepala manusia

Dan kalau engkau bertanya tentang aku
dengarlah pertanyaanmu itu kujawab
dengan penuh kebanggaan:
Aku adalah setan!
Aku adalah setan, yang riwayatku
ditulis oleh Tuhan sendiri di kitab suciNya
bahwa puncak sikapku adalah pernyataan suci
bahwa sesungguhnya aku takut kepada Allah
Apakah manusia takut kepada Tuhan?
Apakah bagi manusia, Tuhan cukup penting?
Tuhan tergeletak di belakang tumit setiap orang
Tuhan bukan subyek yang disertakan
dalam proses pengambilan keputusan

Kalau bangsa ini semakin tak memenuhi syarat untuk disebut bangsa
Kalau manusia kita semakin tak pantas disebut manusia
Adakah cara agar penerus kita kembali manusia?
(Emha Ainun Nadjib/2004/ PmBNetDok)

sesat pikir

Alangkah malang nasib bangsa yang sudah tidak mengerti nilai-nilai
Yang tidak mengerti, dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti
Yang tidak mengerti, dan tidak mengerti dan tidak berupaya untuk mengerti
Sehingga ia melangkah kesana kemari dengan penuh percaya diri
bahwa ia seolah-olah mengerti

Alangkah malang nasib bangsa yang buta matanya tak sembuh-sembuh
yang membuang-buang kebenaran dan membenar-benarkan kejahatanan

Alangkah malang nasib bangsa
yang ilmunya kesesatan dan ruhnya kegelapan
yang sekolahannya kebodohan dan teknologinya kemubadziran
yang organisasinya penghancuran dan pembangunannya kesia-siaan

Alangkah menyedihkan nasib bangsa yang tidak pernah belajar
siapa sesungguhnya pemimpin mereka, dan siapa pengkhianat kehidupan mereka

Alangkah menggelikan nasib bangsa yang menjunjung-junjung berhala
dan meyakininya sebagai Raja
Yang menyembah-nyembah bedil dan menganggapnya sebagai ratu adil

Alangkah perih nasib bangsa yang dibohongi, kemudian diberi harapan,
kemudian dibohonginya lagi, kemudian diberi harapan lagi,
namun kemudian ternyata dibohonginya lagi

Alangkah konyol nasib bangsa yang beramai-ramai
membenci harimau sambil menyerahkan nasibnya kepada buaya.
(Emha Ainun Nadjib/2004/ PmBNetDok)